Nisa kembali menuju kantor dengan angkutan umum, motor terlanjur kesayangannya itu terparkir di area perusahaan.
Hingga Nisa tiba di rumah setelah melakukan tiga puluh menit perjalanan dari tempat ia bekerja, seketika saja ia disambut meriah oleh mulut para tetangganya yang tak ada henti-hentinya terus bergosip tentang dirinya. Pasalnya, Nisa menjadi wanita tertua dari anak-anak tetangganya yang lain. Hanya melihat dari segi umur, Nisa dicap sebagai perawan tua.
"Nak Nisa, kebiasaan bangat kamu ini, kalau pulangnya pasti sendiri. Kapan bawa pasangannya ke rumah?"
"Oh, ada Nisa toh rupanya. Kok sendiri lagi? Udah berapa tahun lho ini, kami selaku tetangga di sini sudah menjadi saksi atas perjalanan hidup kamu. Tapi sampai sekarang kamu itu lho, belum nikah-nikah juga."
"Benar bangat itu lho Sa, anak saya umur dua puluh satu tahun sudah menikah, lah kamu yang umur dua puluh delapan tahun apa kabar?"
"Teh Nisa, nanti kalau mau nikah kabarin ya, biar nanti jadi berita trending. Oh, anaknya Pak Irawan nikah juga, hehe."
"Aduh, siang-siang gini masih aja mulutnya suka ngawur. Kalau mau lihat Nisa nikah, tunggu Upin-Ipin kelar S2 dulu ya, Bu Ibuuu," balas Nisa pada omelan tetangganya.
"Eh, ada Neng Nisa. Nikah sama Akang Rangga aja gimana, Neng? Seluruh bintang di langit akan aku kumpulkan hanya untukmu," celetuk Rangga, salah satu tetangga Nisa yang mulutnya setara dengan ibu-ibu komplek.
"Manis sekali mulutmu ini Kang, sampai telingaku diabetes dengarnya," tukas Nisa. Ia melangkah menuju rumah meninggalkan para tetangganya yang lanjut menggosip di salah satu teras tetangga yang lain, Rangga pun tak segan ikut bergabung.
"Assalamualaikum Bu, Bi," ucap Nisa memasuki rumahnya, langsung disambut oleh ibunya, Renata Alianda.
"Waalaikumsalam. Udah pulang kamu? Bukannya masih siang ini."
"Iya Bu, tadi disuruh sama Boss. Akira mana, Bu?"
"Lagi sama Fafa. Itu kenapa mukanya nggak kayak biasanya?"
"Tetangga Ibu yang sok tahu itu," kesalnya.
"Ngajak ngadu emosi lagi?"
"Nisa capek hadapin mereka tiap Nisa pulang kerja, itu mulu yang ditanyain. Nisa kamu kapan nikah, kenapa belum nikah, harusnya sudah nikah, mana pasangannya? Aku bawa sepuluh laki-laki datang ke rumah baru diam mulutnya!" rajuk Nisa pada sang ibu.
"Ibu setuju, kamu kapan nikahnya?" tambah sang ibu.
"Nggak usah ikut-ikutan bahas nikah Bu, Nisa juga bakal nikah kalau udah waktunya."
"Waktunya kapan?"
"Ya nanti."
Di sela-sela obrolan antara Nisa dan sang ibu, Abdito Irawan, abi Nisa langsung mendudukkan dirinya di samping anaknya, menepuk pelan pundak Nisa dengan sangat lembut.
"Nak, kamu kalau nggak mau dengarin apa kata tetangga, dengarkan Abi saja. Menikah lah, Nak. Demi Akira," pinta abinya.
"Abi bisa nggak? Setiap Nisa pulang kerja, jangan ada yang bahas pernikahan di rumah ini!" bentak Nisa, ia mulai lelah secara mental.