Di luar ruang VK, semua nampak gelisah. Suasana berubah menjadi arena yang menegangkan, saat seorang dokter datang menghampiri dengan raut wajah yang tak dapat diartikan.
"Dokter bagaimana anak saya?" Ibu Renata sontak berlari dan menanyakan kabar putrinya.
"Baik sebentar, apa ini keluarga dari pasien Nisa?"
"Iya Dok, saya ibunya," tangkasnya.
"Mari duduk dulu, Bu."
"Gimana, Dok?" tambah Fafa.
"Nisa, dia mengalami perdarahan yang hebat. Kami sudah melakukan pengangkatan janin. Usia kandungannya yang enam bulan, mengalami keguguran, Bu."
"Nggak! Nggak mungkin anak saya keguguran! Dia bilang dia akan melahirkan anak keduanya," bantah sang ibu.
"Itu sudah terjadi, Bu. Kami tidak dapat menyelamatkan calon bayinya."
"Terus Nisa nya gimana sekarang?" tanya Fafa, tatapan khawatir terlihat sangat jelas pada bola matanya.
"Nisa telah kami pindahkan ke ruang HCU setelah menjalani operasi pasca kecelakaan. Pasien mengalami cedera parah pada bagian kepalanya. Namun jangan khawatir, Nisa sudah melalui masa krisisnya. Tapi ia masih dalam pengawasan ketat."
"Nisa, kamu kenapa sampai begini, Nak." Hati seorang ibu begitu teriris.
"Husst, ini sudah jalan dari Tuhan, Bu," ucap Abi Irawan memberi pengertian.
"Huu!" Fafa membuang nafasnya kasar, dokter tersebut beralih pergi setelah menyampaikan pernyataannya.
Di samping jalannya kehidupan, seorang wanita paruh baya, Sarah Adiwirma, nampak begitu terpukul menyaksikan sang putra yang tengah terbaring tak sadarkan diri.
"Tega kamu sama Mama, Nak. Mama nggak akan pernah maafin kamu. Tapi Mama mohon, bangun sekarang, ya," harapnya, tubuh Ibu Sarah terkulai lemah.
Kecelakaan yang menimpa Dimas, membuatnya harus dipasangkan alat bantu pernapasan. Kini ia tengah dirawat di ruang ICU.
"Anak saya harus sadar, anak saya nggak boleh di sini!" berontak sang ibu, langsung mendapat teguran dari sang suami.
"Mah, Mah! Tenang. Ini Dimas lagi dirawat lho, nanti dia sadar kalau Mama nggak berontak lagi," ucap Pak Abram menenangkan.
Tangis histeris begitu menggema di ruang tersebut, koma yang diderita Dimas berpihak baik padanya. Dalam hitungan jam, ia perlahan membuka mata, mulai menggerakkan tangan dan memanggil sang ibu. Pemandangan itu pun sontak mengundang raut senang, kini setidaknya semua orang bisa bernapas lega.
"Syukur kamu sadar, Nak!" serunya dengan mata binar.
"Pah, Nisa. Nisa ma-na, Pah, Mah." Ucapan terputus-putus itu keluar, menanyakan kabar sang sekretaris.
"Gio, Nisa?" lanjutnya setelah tak ada yang merespon.
"Nisa dirawat di ruang HCU," balas Gio dengan berat hati.
"Gimana ke-adaannya?"
"Dia," balas Gio terhenti, tidak ingin meneruskannya lagi.
"Kan-dungan-nya, gi-gimana?" Gio tidak menjawab.
"Gio!" paksa Dimas.
"Keguguran."
"Apa? Ahh!!" Jawaban singkat itu, membuat Dimas merintih.
"Dim, tenang. Kamu belum bisa banyak gerak, istirahat dulu," ujar sang ibu.
"Mah, Nisa Mah. Anak aku, ANAK AKU!!" teriak Dimas, emosinya meledak seketika.