Taksi yang ditumpangi oleh Nisa, mengarah ke jalan menuju rumah yang menjadi pelariannya hari ini. Dengan laju sedang, mobil tersebut berhenti tepat di depan rumah yang berdiri cukup besar. Melangkah diiringi isak tangis yang memekakkan telinga. Sepanjang langkahnya ia hiasi bersama dengan deraian air mata yang tak hentinya mengalir.
Ting tong.
Bel rumah dipencetnya "Rian," panggilnya sembari memencet bel berkali-kali.
"Rian ini Nisa," sahutnya sedikit berteriak. "Rian?" Mulai memelankan suaranya saat menyadari tak ada respon.
Nisa mengintip dari balik jendela, dan memondar-mandirkan dirinya. Namun, yang dituju sedang tak menghuni rumah tersebut. Sesak di dada semakin dirasakannya. Bersender pada tembok bercat abu-abu, memeluk lutut erat penuh pilu.
Selang setelahnya, mobil sedan melaju menembus gerbang rumah. Sesosok pria ber-kaos putih dengan gaya minimalis, turun menghampiri wanita yang sudah sangat akrab dalam bidang pandangnya.
"Nisa," panggilnya sembari melangkah. Meraih tubuh Nisa, membawanya dalam dekapan. "Nisa, kamu kenapa?" tanya Rian kemudian.
Hanya air mata yang mampu mengekspresikan betapa hebat sakit yang dia rasakan saat ini.
Menatap manik Nisa, menepuk pelan pipi miliknya. "Nisa ada apa? Kenapa kamu sampai kayak gini, jelasin!" tuntut Rian, segera mendudukkan Nisa dengan posisi yang lebih nyaman.
"Kamu jelasin sama aku, tentang hidup aku, SEKARANG!" Nisa melakukan penekanan dan mendesak Rian untuk bicara.
"Kamu tenang dulu. Jelasin ada apa?" tanya Rian penuh lembut.
"Dimas," ucapnya terhenti, ia semakin menangis saja saat menyebut nama itu, "Perempuan itu," tangannya mencengkram kuat pada dada bidang Rian, sesekali memukulnya. Tak tahan dengan keadaan Nisa yang terlihat sangat buruk, ia memeluknya, "siapa aku sebenarnya? SIAPA!" berontak Nisa dalam pelukan Rian.
Di samping kehidupan yang juga tengah berjalan, seorang pria ber-jas hitam dengan dalaman kemeja putih, sibuk mondar-mandir mencari keberadaan wanita penghuni apartemennya. Sepanjang bola matanya ia fungsikan untuk mencari sosok Nisa, tak ada satupun yang nampak dalam pandangannya.
Menghubungi orang rumah, tak ada harapan dari sana. Ia kembali mengotak-atik ponselnya, menekan nama milik Fafa yang terpampang jelas di layar.
Tanpa mengucap kata sapaan, Dimas langsung menerobos pertanyaan yang ia inginkan jawabannya saat ini juga. "Nisa di mana?" Fafa terlonjak kaget dari balik telpon, suara itu terdengar sangat pekat pada indra pendengarannya.
"Lho, aku nggak tahu," ucapnya sedikit gelagapan. Dimas semakin frustasi mendengarnya, entah di mana Nisa sekarang dan bagaimana keadaannya.
"Nisa nggak ada di apartemen!" teriak Dimas tak peduli pada lawan bicaranya yang mengakibatkan ponsel miliknya hampir saja terjatuh.
"Mu-mungkin di rumah, Rian. Iya, Rian," ucapnya dengan nada terputus-putus.
Sambungan telpon ditutup oleh Dimas dengan sangat kasar. Tanpa basa-basi lagi, ia mempercepat langkahnya meninggalkan apartemen. Kini pikirannya hanya tertuju pada Nisa.
"Astaga Nisa!" monolognya kesal.
***
Sepasang dua manusia berbeda gender, berjalan beriringan menyusuri suatu tempat yang cukup ramai oleh sekelompok orang yang duduk di area Kedai Rinjani.
Nisa menyipitkan mata, sedikit rasa pusing bercampur dalam pandangannya. Seolah melihat bayangan dirinya, pria yang tengah berdiri di sampingnya, beserta seorang anak kecil yang terlihat membelakanginya. Ia meneruskan langkahnya, menghampiri ketiga sosok tersebut. Perasaan bingung dan pusing menyerangnya bersamaan.
Rian mengajaknya duduk di kursi pojok. Tempat yang sama saat mereka pertama kali meresmikan hubungan pernikahan.
Meraih tangan Nisa. "Nisa." Kini bola mata keduanya saling terpaut. "Tempat ini adalah tempat yang paling bersejarah dalam hidup kita. Tempat pertama kali kita berbagi kasih. Kamu ingat? Kamu berjalan dari arah sana," ucap Rian menunjuk dengan lima jarinya, "lalu disusul seorang anak perempuan yang sangat cantik dan manis."
"Si-siapa anak kecil itu?" tanya Nisa penuh rasa penasaran.
"Anak kamu," jawab Rian spontan.
Mengernyitkan kening, "Anak?"
***
Seorang pria datang bertamu dengan maksud yang tak biasa. Dengan napas yang tersengal, ia mengetuk pintu kasar. Tidak adanya respon dari pemilik rumah membuatnya mulai kalang kabut. Jalan terakhir adalah menghubungi Rian, menanyakan keberadaan mereka saat ini.
Merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel miliknya, menekan setiap digit nomor yang dituju.
Telpon terhubung. "Rian, lu di mana?" ucap Dimas langsung pada intinya.
Dari seberang sana menjawab dengan sangat hati-hati, "Di kedai, Dim."
"Lu bawa Nisa ke mana!" Suara teriakan itu sedikit membuat Rian jengkel.
"Nisa kenapa datangin gua sampai nangis? Kalau lu nggak bisa jaga perasaanya, jangan bawa dia masuk dalam hidup lu!" peringat Rian yang tak ingin diam menanggapi masalah ini.
"Kirim lokasi lu sekarang, gua susul ke sana." Telpon ditutup tanpa sepengetahuan pihak lawan bicaranya.
Car black milik Dimas kembali mendarat di suatu tempat. Menyusuri setiap persimpangan jalan penuh sesak. Membawa tubuhnya menemui seseorang yang dengan sangat lancang membuat hidupnya terjebak pada tiap-tiap detik napasnya.
Dengan napas tersengal, Dimas menghampiri Nisa yang terduduk lemah di kursi pojok Kedai Rinjani. Langkah kakinya terhentak penuh amarah, sorot matanya tajam mengintai, deru napasnya kian tak beraturan, seakan siap memangsa orang-orang yang dilewatinya.
Meraih tubuh Nisa dan mendekapnya. "Nisa, kamu ke mana aja? Sampai ninggalin apartemen nggak kabarin aku dulu. Aku khawatir nyariin kamu," ucapnya sembari mensejajarkan wajahnya. Begitu jelas dalam pandangannya, bekas jejak air mata Nisa yang membuat hatinya tersayat.
Mulut Nisa tergerak untuk bicara. "Mas, kamu nggak papa?" tanyanya pelan, hanya mampu bertanya mengenai keadaan sang suami. Hatinya tidak cukup berani mengatakan siapa perempuan itu sebenarnya.
"Aku baik, Nis. Kita balik ke apartemen sekarang," balasnya.
"Dim, kondisi Nisa lemah. Dia harus ikut gua ke rumah sakit," tutur Rian yang justru menerima penolakan.
"Nggak Ran, Nisa gua bawa ke apartemen aja," tolaknya sembari menopang tubuh Nisa untuk berjalan.
"Siapa yang akan rawat Nisa di apartemen lu!" balas Rian marah.
Dimas tak peduli, segera membawa Nisa meninggalkan kedai, beserta Rian yang terpatung dengan kelopak mata memerah.
Dimas lekas membawa Nisa ke dalam mobil, Rian spontan mengejar dengan hentakan kaki yang menggema.
"Dim, gua minta lu jangan terlalu memaksa Nisa. Kalau lu peduli sama hidup dia, serahin dia sama gua!" tuntut Rian penuh hasrat yang memburu.
"Ran, Nisa tanggung jawab gua sekarang. Lu yang harus serahin Nisa sama gua," balas Dimas menatap nyalang pada Rian.
"Gua nggak mau mempercayakan Nisa sama orang yang justru bikin dia nangis kayak gini!" Puncak kemarahan Rian sudah dirasakan oleh Dimas.
"Lu nggak tahu apa-apa, Ran. Lu nggak berhak marah sama gua!" Ia menggertakkan gigi hingga rahang miliknya terbentuk.
"Sekarang, kalau lu masih mau menghargai Nisa sebagai istri pura-pura lu, lu jauhin perempuan itu!" Pernyataan tersebut sontak membuat Dimas membulatkan mata.
Ia mendekat. "Nisa cerita apa sama lu?"
Dengan menampakkan wajah datarnya lalu berkata, "Nggak cerita apa-apa. Gua cuma nggak suka lihat Nisa nangis."
"Ini nggak akan terulang lagi!" ucapnya yang kemudian lekas membawa tubuhnya menghilang dari pandangan Rian. Meninggalkan kedai bersama dengan wanita yang entah ia anggap siapa dalam hidupnya.