Waktu begitu cepat berlalu, kini suasana hari-hari Nisa berjalan tanpa Rian. Sosok yang harusnya menjadi penyemangatnya itu, tengah sibuk berhadapan dengan ratusan pasien di rumah sakit. Saling kabar mengabari seperti sudah tidak terpikirkan oleh mereka lagi, komunikasi antar keduanya pun tak lagi berjalan. Semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing.
Seorang wanita dengan pakaian anggunnya, terlihat begitu haus akan perhatian. Tak ada hari yang ia lewatkan dengan tenang. Ketidakberadaan Akira semakin mendukung kehampaannya.
Usia kandungannya yang sudah menginjak 6 bulan, justru dihiasi oleh setumpuk perhatian dari sang boss. Ia seperti bayangan yang dengan mudahnya mengambil alih peran Rian terhadap Nisa, semua nampak sangat manis.
"Pak, jadi datang ke rumah nggak?" ucapnya dengan seseorang yang berada di balik telpon.
"Nanti habis meeting aku ke sana ya, jangan beraktivitas berat dulu. Kandungan kamu udah makin besar, jaga baik-baik."
"Siap 45, Pak!" sahutnya.
Sambungan telpon terputus, kini suara sang ibu merusak kesenangannya.
"Nisaaa," panggil Ibu Renata sembari berjalan menghampiri Nisa yang tengah berduduk santai di sofa hitam miliknya.
"Ada apa, Bu?"
"Kamu nggak ke posyandu periksa kandungan kamu? Harus rutin cek-up lho," tutur sang ibu memperingati.
"Cek di rumah sakit aja, Bu. Lagian Nisa malu kali, ketemu sama ibu-ibu di sana. Yang ada malah ngegosip lagi."
"Ya sudah, kamu bersiap sekarang. Biar Ibu yang antar."
"Nggak usah repot, Bu. Nanti boss Nisa datang. Cek up-nya biar ditemani sama dia aja."
"Kamu malah repotin orang namanya!"
"Nggak bakal, Bu. Ini 'kan juga anaknya. Harus tanggung jawab lah." sang ibu memilih meninggalkan Nisa, entah mengapa berbicara dengan orang seperti Nisa ini, selalu saja membuat seseorang kehilangan mood-nya?
"Bilang aja lu pengen jalan-jalan berdua sama boss lu itu," campur Fafa tiba-tiba.
"Tahu apa lo?"
"Lu lupa sama Rian, Sa?"
"Lupa apa? Gue nggak lupain dia, dianya aja yang lupa kalau ada gue yang selalu setia nungguin dia."
"Kan nggak gini juga cara lu, jalan sama saudaranya sendiri tanpa sepengetahuannya dia."
"Gue udah nggak pernah komunikasi lagi sama Rian, mungkin emang dia mau selesai kali. Tapi ya udah, gue juga nggak peduli. Mau nikah mau engga, nggak penting buat gue!"
"Segitu kerasnya hati lu? Belum move on dari masalalu, Sa?"
"Kemarin udah move on, tapi sekarang ngeliat keadaan gue kayak gini, gue jadi ingat lagi rasa pahit yang gue rasain dulu. Nggak tahu kenapa laki-laki itu suka bangat ngancurin hidup perempuan." Jeda, ia berusaha agar tidak meneteskan air mata di hadapan sang adik.
"Rian yang katanya mau nikahin, nggak kunjung-kunjung bawa gue ke pelaminan. Gue yang sekarang ngandung anak boss sendiri, nggak ada sama sekali rasa tanggung jawab dari dia. Lo liat aja si Doni, Akira udah segede itu tapi Doni nggak pernah ngelirik gue buat jadiin istrinya. Sekarang dia malah bawa Akira pergi jauh dari kehidupan gue Fa, dan mungkin selanjutnya anak ini bakal pisah dari gue juga. Nggak ada lagi yang istimewa dalam hidup gue, semuanya pergi gitu aja," lanjutnya, setelah perasaannya mulai agak tenang.
"Jangan ngerasa sendiri, lu akan bahagia kalau udah waktunya nanti. Sekarang lu diuji Sa, lu kakak gue yang paling kuat, yang gue kenal dalam hidup ini. Lu secara nggak langsung ngasih gue pelajaran hidup yang berharga."