Di balik ribuan tawa orang-orang sekitar, terdapat satu dua orang yang tengah dirundung kesedihan.
Seorang perempuan dengan pakaian minimalisnya, tengah berdiri di hadapan pria matang yang menggunakan jas kantor berwarna abu-abu. Saling menatap, diam dan sunyi. Bola mata itu terpaut satu sama lain. Tidak sedikit pun lengah dari arah pandangnya.
"Dimas." Satu suara kian menyapa, membuat suasana mulai lebih terbuka.
Dimas mengangguk kecil berkali-kali, terlihat jelas jika ia sedang bersikeras menahan air matanya untuk jatuh.
"Dimas." Tubuh Dimas diserang kehangatan. Bella memeluknya. Cinta enam tahun silam, kini hadir di antara luka yang bersarang.
"Oh," ucap Bella mulai melonggarkan pelukannya. "Maaf, aku lupa." Sembari menghapus air matanya.
Dimas membuka satu kancing di bagian leher yang terasa sesak. "Dari mana aja, Bel?" Yang ditanyainya itu menunduk.
"Bella," panggil Dimas, Bella tak kunjung menatapnya.
"Bella!" Dimas balas memeluknya, cinta pertama dan selamanya itu benar-benar ada di hadapannya.
"Dim, lepas. Jangan peluk aku."
"Oh, maaf." Keduanya mulai canggung. Ada kesadaran yang mereka rasakan. Mereka bukan milik satu sama lain, tetapi orang lain.
"Ibu yang kemarin itu, mertua kamu, Bel?" Pertanyaan itu berhasil memecah keheningan.
"Bukan," ucapnya menggeleng pelan, "dia ibu angkat aku." Sembari tersenyum.
"Ibu angkat?" Keningnya berkerut.
"Dia yang udah baik hati pungut aku."
"Apa maksud kamu, Bel?" Dimas semakin penasaran, entah apa yang terjadi pada hidup Bella selama ini.
"Aku udah nggak punya siapa-siapa, Dim." Ia melihat ke atas, mencoba menahan air matanya yang hendak keluar.
"Bel kamu jelasin ada apa sama hidup kamu!" Ketegasannya itu terdengar menuntut.
"Apa pentingnya buat kamu, Dim?" Bella menatap Dimas dengan lekat, sorot matanya menyimpan banyak kesedihan. "Kita udah nggak ada hubungan, 'kan?" lanjutnya.
"Aku mau, kamu cerita sama aku!" paksa Dimas penuh bentakan.
Bella mengambil napas dan membuangnya. "Dim, ayahku udah nggak ada."
"Bel," ucap Dimas terpotong.
"Aku udah nggak punya orang tua lagi." Ia menatap sendu wajah Dimas, raut sedih tak dapat ditutupinya, air matanya mengalir.
"Dim, aku sekarat. Kalau bukan ibu itu yang nolong aku, aku udah mati, Dim." Dimas memegang kedua bahu Bella, lalu memeluknya kembali. Namun, Bella menepisnya dengan kasar.
"Dimas, berhenti peluk aku!" tolaknya. "Kamu udah punya istri, hargai dia."
"Dia bukan istri aku, Bel," ucap Dimas spontan, membuat Bella bereaksi kaget.
"Apa?"
"Dia lupa ingatan, yang dia tahu aku suaminya," terangnya.
"Dim, kenapa bisa gini?"
"Ceritanya panjang, Bel. Aku belum nikah."
Hening sesaat menguasai. Masih terdapat secuil harapan dalam hati Bella.
"Kamu cinta sama dia?"
"Cinta?" Dimas tersenyum tipis. "Kalau aku cinta sama dia, aku udah pasti nikah sama dia, Bel."