Menempuh sekitar tiga puluh menit perjalanan, diiringi sedikit obrolan hangat, canda dan tawa. Rian dan Nisa tiba di tempat tujuan. Tempat di mana semua masalah dipertemukan, untuk diselesaikan saat itu juga.
Mereka masuk dan langsung menuju ruangan Pak Abram, seketika pelukan rindu menyerang Rian secara tiba-tiba.
"Maafin Papa, Nak. Maafin Papa," ulangnya. Kalimat demi kalimat yang dituturkan Pak Abram, membuat hati Rian menghangat. Selama dua puluh empat tahun ini, ia benar-benar pertama kali merasakannya.
"Pah, Rian udah maafin semuanya."
"Maafin Papa, nggak ada bersama kamu dan melihat pertumbuhan kamu sampai sekarang ini. Papa nggak nyangka anak-anak Papa sudah dewasa, dan menjadi dokter. Papa bangga, Nak. Papa senang ketemu kamu di sini."
"Rian juga senang bisa ketemu Papa lagi, setelah bertahun-tahun."
Gio yang sedari tadi menyimak, tak tahan lagi untuk tidak menjatuhkan air matanya. Laki-laki labil itu luluh, tak pernah menyangka bahwa ia akan menyaksikan adegan ini dalam hidupnya.
"Jadi, gimana sama Nisa. Kapan nikahnya?" Pertanyaan yang dilontarkan Pak Abram membuat Rian cekikikan, menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Anu Pah," ucapnya mulai garuk-garuk tak jelas.
"Anu apa Ran?" campur Dimas.
"Haha." Ia sempat tertawa sebelum meneruskan ucapannya. "Nanti setelah Rian selesai nugas, Pah."
"Kelamaan kalau itu, tahu-tahu nanti Nisa diambil orang lain gimana?" tambah Gio. Laki-laki labil inilah yang telah menceritakan semua persoalan yang dialami kakaknya, Rian dan Nisa kepada sang ayah. Ia begitu lancang mengatakannya tanpa berpikir, semangatnya untuk bercerita begitu tinggi. Hingga ia yang mengatur semua pertemuan ini.
"Nggak usah lama-lama Rian, kamu 'kan bisa nikah sambil nugas. Jadi ada yang dampingi," saran pak Abram.
"Nanti gua bantu urus," ujar Dimas.
"Pak, saya dipanggil untuk urusan kerja, Pak?" sahut Nisa kemudian.
"Oh iya. Jadi soal pekerjaan, kamu bisa ambil cuti selama masa kehamilan kamu," ujar Pak Abram.
"Tapi masih banyak proyek yang harus dikerjakan, Pak," protesnya dengan nada lembut.
"Nisa, kamu nggak ingat kamu lagi hamil? Nggak boleh kecapek-an, kamu cuti dulu, jangan masuk kerja," bantah Dimas cepat.
"Nggak bisa, Pak. Saya udah berkontrak di perusahaan ini."
"Nisa, jangan keras kepala!" Dimas mulai meninggikan suaranya, membuat Rian menegurnya.
"Dim," tegur Rian.
"Tapi hak aku buat kerja!" Keras kepalanya tidak bisa dilawan.
"Udah-udah, gini aja. Kamu nggak boleh masuk kerja, kalau kandungan kamu udah masuk minggu ke 14," saran Pak Abram.
"Nggak bisa gitu, Pah. Orang hamil nggak boleh beraktivitas terlalu berat," bantah Dimas.
"Nisa, kamu nggak usah kerja. Udah aku bilang juga 'kan?" ucap Rian kemudian.
"Kalian ini kenapa sensitif bangat? Yang hamil itu Nisa, yang rasain juga Nisa. Jadi Nisa lebih tahu, biarin dia yang nentuin keputusannya," campur Gio dengan sedikit emosi.
"Nggak!" ujar Rian dan Dimas bersamaan.
"Nisa tetap nggak boleh masuk kerja!" lanjut Dimas.
"Pah, Gio mau ke kampus dulu. Gue kayaknya salah lapak," ucap Gio, ia beralih meninggalkan ruangan ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past (Tamat) ✓
Storie d'amoreIni cerita tentang masalalu, cinta, dan keluarga.