Dinyatakan keluar dari rumah sakit setelah perawatan intensif dilakukan selama beberapa hari, Nisa dipulangkannya kembali ke rumah. Demi menghindari rasa curiga, Dimas ikut pulang ke rumah Nisa, sebagai suaminya.
"Dengar-dengar, si Nisa masuk rumah sakit. Ya, Bu?" tanya seorang ibu-ibu, dengan tampang dasternya.
"Bukannya usia kandungannya masih enam bulan?" Ibu-ibu lain ikut bertanya.
"Buuu." Seseorang memanggil dari seberang sana. Ia berjalan, lalu duduk di antara kawan-kawannya. "Bu Nin, Bu Tut. Nisa, Dia Lupa ingatan!" serunya, dengan napas agak sedikit tersengal.
"Apa!" kaget mereka bersamaan.
"Dia kecelakaan sama boss-nya, sampai keguguran," tambahnya.
"Itu pasti karma buat dia, karena sudah melakukan pembohongan publik di wilayah kita ini!" sahut Ibu Tuti.
"Duh, kasian bangat nasib si dokter gantengku itu. Sabar bangat orangnya. Kalau saya jadi ibunya dia, nggak bakal sudi anak saya nikah sama perempuan model kayak Nisa!" ujar Ibu Nining.
Mobil sedan itu melaju ke arah rumah Nisa.
"Eh, lihat deh. Nisa kayaknya udah pulang."
"Wah, ada boss-nya juga!"
"Ngapain boss-nya ikut pulang ke rumah Nisa? Harusnya dia istirahat di rumah sendiri."
Setumpuk pertanyaan di benak mereka, membuat rasa penasaran yang tak dapat dielakkan.
"Kita masuk, istirahat di dalam." tuntun Dimas, layaknya pasangan yang perhatian.
"Nisa, ini rumah kamu. Ayo masuk," ucap Ibu Renata, yang tak kalah antusias menyambut kedatangan putrinya kembali ke rumah.
"Iya, Bu."
Rumah itu serasa asing bagi pandangannya. Tak ada satupun momen yang bisa diingatnya.
"Mas," ucap Nisa memanggil, namun yang dipanggilnya itu tidak menoleh.
"Mas, Mas Dimas!" Nada tinggi cukup membuat wajah Dimas menoleh.
"Iya, kenapa?"
"Enggak. Aku manggil kamu."
"Oh iya maaf, nggak dengar," ujarnya sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "ngomong apa, tadi?"
"Aku mau nanya," ucapnya lalu mencari posisi yang nyaman di sofa.
"Kita nikah udah berapa lama?" Pertanyaan itu tentu saja membuat Dimas panik. Bagaimana ia tau menikah berapa lama? Tunangan saja tidak pernah.
"Dua tahun," jawabnya spontan. Menelan pelan salivanya.
"Terus kita udah punya rumah sendiri?"
"Ada." Dimas lagi-lagi menggaruk tengkuknya untuk menetralkan perasaannya. "Kita punya apartemen."
"Gitu." Nisa meluruskan pandangannya. "Ya udah, aku mau ke kamar. Mas antar aku ya, aku nggak tahu kamarku di mana." Ia sedikit tertawa, pasalnya ini momen lucu jika ia sendiri lupa di mana letaknya kamarnya.
"Kamar?" Dimas mulai geleng-geleng. Apa yang ia ketahui tentang sudut rumah ini? "Di-di sana!" Dimas menunjuk ke arah pintu, Nisa berjalan mengikuti instruksinya.
"Mas," panggil Nisa.
"Iya?" Ia mulai tegang.
"Ini toilet, lho."