Kembali menempati ruang yang sama, Nisa tengah sibuk menyiapkan pakaian kantor milik suaminya itu. Teh panas adalah minuman yang tak pernah dilupakan saat pagi hari. Kini, Nisa hanya menunggu suaminya selesai mandi.
"Nisaaa, bawa pakaiannya ke dalam," sahut Dimas dari balik pintu kamar mandi.
"Lho, kenapa pakai bajunya nggak di sini aja, Mas?" Nisa bingung dengan tingkah suaminya belakangan ini, ia merasa seperti ada pembatas di antara mereka.
"Bawa aja, aku bisa telat ke kantor lho ini, Sayang."
Nisa lalu melangkah, menyusuri Dimas. "Ini pakaian kamu, udah aku setrika juga. Tehnya ada di meja, aku tunggu di bawah, ya." Ia menyodorkan pakaian itu tanpa melihat ke arah Dimas yang tengah bersembunyi di balik pintu, hanya menampakkan tangannya yang penuh urat.
"Makasih, Nis."
Nisa berlalu pergi, tanda tanya mulai menyerang kepalanya.
Selesai bersiap, Dimas segera turun dan menemui Nisa untuk pamit.
"Sayang," panggilnya. Dimas berjalan menuju ruang santainya, dimana ada Nisa yang tengah duduk menikmati tontonan film-nya pagi ini.
"Sayang aku berangkat ke kantor, ya. Cup." Mengecup puncak kepala Nisa dan mengelusnya singkat, ia segera beralih meninggalkan apartemen miliknya.
"Mas," tahan Nisa.
Dimas berbalik dan berucap, "Iya?"
"Hari ini makan siangnya udah aku pesan sama tukang kateringnya. Aku nggak bisa masak buat kamu, aku mau ke rumah ibu."
"Lho, kamu ke sana sendiri Sayang?" Dimas kembali mendekat pada Nisa.
"Aku minta Fafa buat jemput."
"Ya udah, jangan lupa kasih kabar, ya." Nisa tersenyum dan mengangguk mendengarnya. "Pulang dari sana jangan lama!" Sorot matanya itu terlihat menegasi. "Kalau aku nyampe duluan, dan kamu belum ada di sini, aku bakal susul dan bawa kamu pulang!" peringatnya.
"Iya Mas, aku ngerti."
Sekian menit berlalu, motor sederhana berjalan memasuki area apartemen. Motor bergaya klasik itu, membuat Nisa tak berkedip menatapnya. Mengingat bahwa jemputannya sudah datang, ia segera keluar dan menemui Fafa.
"Hai, udah datang kamu," sambut Nisa.
"Nunggu lama, ya? Tadi ada notif dari kampus, aku sempat ngerjain dulu."
"Nggak papa." Nisa tersenyum hangat, "Langsung aja yuk, ke rumah ibu."
Motor itu berjalan ke arah tujuan. Dentuman khas klakson kendaraan menghiasi perjalanan mereka pagi ini. Ibukota sudah ramai oleh aktivitas para manusia dengan kesibukannya tersendiri.
"Fa, kamu ingat sama laki-laki yang di rumah sakit kemarin, nggak? Dia pakai pakaian serba putih, kayaknya sih sneli. Emang dia dokter?" tanya Nisa di sela kebisingan jalan raya.
"Oh, itu si Rian. Iya dia dokter, tapi bukan dokter di rumah sakit itu. Kenapa emangnya?" balas Fafa, ia sedikit berteriak. Mengingat perjalanan mereka kali ini begitu berisik.
"Kamu tahu tempat tinggalnya?"
"Iya tahu."
"Kita ke sana aja, yuk."
"Lho, bukannya mau ke rumah ibu?"
"Nanti aja, aku mau ketemu sama dokter itu dulu."
"Ada urusan penting apa, Sa?" Nisa tak menggubris lagi, ia bersikeras untuk menemui dokter yang mengaku calon suaminya saat di rumah sakit.