Dari hari ke hari, hingga hari berganti tahun.
"Mana cucu Mama!" desak Mama Vania kepada Dimas.
Sampai sekarang Dimas belum bisa memberikan itu.
"Belum rezeki, Mah," ucapnya.
"Belum rezeki, atau nggak ada usaha?"
Hampir setiap hari Mama Vania mendesak sang anak untuk segera memberikannya cucu. Tapi hal itu nampaknya sulit untuk Dimas berikan.
***
"Nisa itu memang keras hatinya, Nak. Kamu tahu sendiri 'kan, bagaimana kisah percintaannya selama ini? Nisa sudah menutup hatinya rapat-rapat. Nisa tidak ingin membuka hatinya karena takut masalalunya datang lagi. Ibu cuma ingin kamu sabar menghadapi sikap Nisa," ujar Ibu Renata mengingatkan.
"Aku akan usahakan masuk ke hati Nisa pelan-pelan, Bu. Perlahan dia akan mengerti bahwa ada sosok suami yang mencintainya dan tidak akan pernah meninggalkannya. Dimas akan ketuk hati Nisa," yakinnya pada Ibu Renata.
Entah sejak kapan Dimas memiliki perasaan terhadap Nisa. Hanya waktu yang memiliki jawabannya. Dimas dengan kesungguhan hatinya menjalani rumah tangga dan statusnya sebagai seorang suami. Berusaha menjadi obat bagi wanita yang hatinya berkali-kali dipatahkan.
"Dim, kita ini udah satu tahun menjadi suami istri. Kalau kamu udah nggak tahan sama hubungan ini, kamu boleh cari wanita lain di luar sana. Aku nggak akan pernah bikin kamu bahagia. Dan kita nggak akan pernah bahagia selamanya! Nggak ada cinta dalam pernikahan ini! Kamu boleh ceraikan aku."
Dimas mendekatkan tubuhnya dan menatap Nisa dengan sangat intens.
"Aku bahagia, Nis. Aku nggak butuh wanita lain! Dan aku nggak akan pernah tinggalin wanita yang aku cintai."
"Kamu nggak usah bicara soal cinta, sampai kapanpun nggak akan ada cinta diantara kita!"
"Kalau aku nggak cinta sama kamu, ngapain aku bertahan selama satu tahun ini?"
Nampaknya Nisa sudah sangat dibutakan oleh masalalunya. Hingga ia bahkan tidak bisa menyadari cinta Dimas kepadanya.
Nisa tak menggubris lagi. Ia sibuk memalingkan muka entah kemana.
"Aku harus berangkat ke kantor. Kalau ada apa-apa langsung hubungi aku, oke?" Dimas mengelus rambut panjang milik Nisa dan mengecup puncak kepalanya sebelum meninggalkan rumah.
Selepas kepergian Dimas, untuk sesaat senyum tipisnya terbit di sudut bibirnya.
Menjelang pukul dua belas siang, sebuah notif pesan mendarat di ponsel Nisa.
Dimas, 11.30
"Hari ini aku makan siang di kantor, ada meeting penting dengan klien."Pesan singkat itu membuatnya tergerak mendatangi kantor Dimas. Dengan sebuah totebag di tangannya, Nisa berjalan menyusuri kubikel lift untuk bisa sampai pada ruangan Dimas.
Nampak dari luar kaca transparan, meeting sang suami masih berlangsung. Nisa memilih menunggu dan berdiri dari luar sembari terus menenteng totebag itu.
Sekilas pandangan Dimas tertuju pada rambut panjang dan bentuk tubuh yang sangat ia kenali dari istrinya. Buru-buru Dimas menyelesaikan meeting nya kali ini.
"Saya rasa pencapaian bulan lalu sudah cukup baik. Selebihnya kita akan memperkenalkan produk secara lebih luas ke masyarakat. Untuk strateginya sendiri, akan kita bahas Minggu depan," ucap Dimas mengakhiri rapatnya.
Setelah para klien meninggalkan ruangan, Nisa lekas masuk dengan perasaan gugupnya.
"Nisa, kamu nggak ngasih tahu kalau mau datang," ucap Dimas terkejut, sekaligus bahagia dengan kedatangan Nisa untuk pertama kalinya setelah pernikahan mereka.
"Kamu notif nggak bisa makan siang di rumah, jadi aku bawain kamu masakan dari rumah," ucapnya sembari meletakkan totebag di meja. Berhasil mengundang senyum Dimas.
"Aku mau makan di rumah, oke? Sekarang kita pulang ke rumah," ajak Dimas sembari meraih tangan Nisa dan menggandengnya.
***
"Nisa, aku cinta sama kamu! Kamu percaya sama aku. Aku mau kita mulai dari awal. Kamu boleh pegang ucapan aku, Nis. Sampai kapanpun aku nggak akan pernah ninggalin kamu." Nisa mengangguk sembari menitihkan air matanya. Begitu juga kelopak mata Dimas yang sudah berkaca-kaca.
"Aku akan menjadikan kamu satu-satunya perempuan di hati aku. Kamu adalah hadiah yang dikirim Tuhan sebagai istri aku. Aku beruntung punya kamu, Nisa!"
"Aku minta maaf nggak bisa menjadi istri yang kamu inginkan selama ini, tapi aku akan berusaha untuk menjadi istri terbaik buat kamu."
"Kamu udah cukup terbaik buat aku, Nis. Aku nggak butuh lebih dari ini!"
Nisa perlahan menghamburkan dirinya ke dalam pelukan Dimas. Pembatas diantara mereka pun sudah putus. Kini tidak ada alasan lagi untuk cinta memasuki hubungan rumah tangga mereka.
Hari-hari dilalui oleh Nisa dan Dimas penuh rasa kebahagiaan. Kini Nisa telah menemukan cintanya. Disandingkan dengan sosok Dimas yang begitu menyayanginya.
Satu tahun empat bulan menjalani kehidupan rumah tangga, pada akhirnya Tuhan memberikan hadiah yang membuat kebahagiaan keduanya semakin sempurna.
"Sayang," panggil Nisa sembari mendekat, ikut duduk di samping sang suami.
"Iya Sayang?" sahut Dimas menoleh. Nisa menyodorkan sebuah amplop berisi tes kehamilan.
"Kamu hamil, Sayang?" Betapa berseri-serinya wajah pria berusia tiga puluh dua tahun itu, rasa haru ikut menghiasi kebahagiaannya kali ini. Entah menangis, berteriak atau tertawa, Dimas sangat bahagia dengan hadirnya rahim di perut sang istri.
TAMAT