Part 37 Titik Ikhlas

167 10 0
                                    

Semenjak batalnya pernikahan Rian dan Nisa dua bulan lalu, Nisa semakin menutup hati untuk siapapun. Setiap hubungan yang ia jalani dengan seseorang, satupun tidak pernah membawanya ke dalam bahtera rumah tangga dimana ia akan berstatus seorang istri. Impiannya untuk menikah sudah terkubur sangat dalam, kini ia merasa lebih bahagia dengan pilihan hidupnya.

Kehadiran Akira setelah sekian lama kembali memberinya cahaya hidup. Setidaknya wanita berusia dua puluh delapan tahun ini masih memiliki alasan untuk tetap bahagia, meski tidak dengan sebuah pernikahan.

"Kira rindu nggak sama Mama?" ucap Nisa menahan haru sembari Akira dalam pelukannya.

"Kila linduuu cekali cama Mama!" sahut anak menggemaskan itu.

"Kira ngapain aja di sana? Pasti teman Kira udah banyak, iya 'kan?" Nisa mendudukkan Akira di kursi tepat di depan sebuah toko. Menunggu Doni yang tengah berbelanja keperluannya.

"Kila main lali-lali cama eman-eman Kila. Elus, ayah ajak Kila elanja ecklim. Kila cenang cekali!!" celoteh anak usia tiga tahun ini tidak pernah berubah. Ia tetaplah Akira yang lucu dan menggemaskan.

"Nanti Kira pulang sama onty Fafa, ya? Kira harus cerita juga sama grandma, oke? Pasti mereka lagi nungguin Kira di rumah, hayo!"

"Iya, Kila lindu juga cama onty!!" ungkapnya sembari memegang pipinya yang sengaja digembulkan.

"Kira!" panggil Doni. Ia berjalan sembari menenteng sebuah tas belanja.

"Ayah!" sahutnya gembira.

Tak lama berselang, sebuah mobil sedan berhenti tepat di arah mereka. Berjalan sosok perempuan muda dengan gaya feminimnya menghampiri bocah menggemaskan sembari memasang wajah girang.

"Kiraaaa gue!!" hebohnya.

"Ya ampun Kira!!" Fafa langsung membawa Akira dalam gendongannya.

"Kamu tambah cantik ya sekarang, udah lama onty nggak ketemu. Udah punya pacar sekarang?" canda Fafa. Keusilannya ini membuat Nisa melirik tajam.

"Elum, cama ayah nda oleh acalan dulu, Kila kan macih kecil lagi!" jawabnya dengan gaya polosnya.

"Ya udah, pulang sama onty yuk? Grandma udah kangen bangat lho, sama kamu!!"

"Hayuk!" sahutnya penuh antusias.

"Sa, gue balik duluan ya," pamitnya. Ia pun melirik ke arah Doni sebelum meninggalkan lokasi. "Bye Don," ucapnya.

Kini tinggallah dua kenangan dengan masalalu yang sama.

"Sa, aku mau nikah." Tiba-tiba saja suara khas Doni memecah keheningan.

"Oo ya? Bagus dong! Kapan rencananya Don?" Nisa nampaknya berhasil menyembunyikan ekspresi kagetnya.

"Bulan depan," ujarnya.

"Aku doain niat baik kamu ini berjalan lancar. Makasih ya, kamu udah jadi ayah yang baik selama ini buat Kira, kamu udah kasih dia segalanya," ungkapnya tulus.

"Bagaimanapun aku ini tetap ayahnya Kira, aku akan tetap menjadi ayahnya sampai kapanpun. Kira juga tanggung jawab aku, Sa." Nisa mangguk-mangguk mendengar pengakuan Doni, sisi kebapakannya membuat Nisa seolah tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan.

"Setelah kamu nikah, kamu nggak akan bawa Kira hidup sama kamu 'kan?"

"Aku tahu hidup kamu sekarang. Kamu kehilangan bayi kamu, kamu batal nikah sama Rian. Dan untuk sementara ini, kamu boleh tinggal sama Kira sampai masa pernikahan aku tiba."

"Lho, nggak bisa gitu dong! Kamu pikir tiga puluh hari itu banyak? Kamu udah bawa dia selama berbulan-bulan, terus kamu cuma kasih aku waktu satu bulan buat Kira?"

"Jangan lupa ya, hak asuh Kira ada di tangan aku," peringatnya.

"Nggak gini caranya! Kamu mau misahin aku dari anak aku, Don?"

"Nisa, aku nggak mencoba misahin kamu dari Kira, atau larang kamu ketemu sama dia. Kamu ibunya! Aku ngerti. Tapi Kira akan tinggal sama aku, kamu boleh temuin dia setiap hari." Perebutan hak asuh sepertinya menjadi kasus yang tak akan pernah berakhir bagi Doni dan Nisa.

Kembali ke rumah setelah perbincangannya dengan Doni yang kemudian menghangat. Nisa tenang seketika begitu melihat Akira asik bermain. Akira adalah sosok gadis kecil yang mampu mendamaikan hatinya dari segala permasalahan hidup yang telah dialaminya.

Fafa yang melihat kedatangan Nisa langsung menghampirinya menuju kamar.

"Sa, ada kabar dari Rian hari ini," ucapnya.

"Apa?"

Fafa menyodorkan sebuah undangan pernikahan.

"Rian mau nikah. Minggu depan. Dengan ustadzah Syaila." Nampaknya dari kabar ke kabar tidak membuat Nisa terkejut lagi. Semua orang yang pernah bersamanya meninggalkannya secara serentak. Sepertinya takdir memang suka mempermainkan hati.

"Ohh, semoga sakinah mawaddah untuk kedepannya," ucapnya tulus.

"Lo nggak papa, Sa?"

"Semua orang itu pasti menikah, Fa. Dengan siapa dan kapan, itu pilihan dia. Kita nggak mungkin mencegahnya 'kan?" Nisa lebih melapangkan hatinya. Mencoba menerima apapun yang akan terjadi di episode hidup selanjutnya.

"Gue cuma khawatir, Sa," terangnya.

"Doni juga mau nikah bulan depan, asal kamu tahu aja," ungkapnya.

Fafa terdiam sejenak, mengambil nafas dan menahan haru.

Sang ibu tiba-tiba memanggil membuat Nisa dan Fafa saling memalingkan pandangan.

"Gimana sama tawaran Pak Abram? Sudah kamu pikir-pikir?"

"Iya, Bu. Besok Nisa akan kembali kerja di kantor Pak Abram," ujarnya.

Perusahaan milik Abram Mahesa begitu membutuhkan tenaga kerja seperti Nisa, ia pun akan menempati kembali posisinya.

Terlepas dari semua permasalahan hidup yang dialami, Nisa sudah ikhlaskan semuanya. Sekarang saatnya ia memulai kehidupan baru, tapi tidak dengan perasaan ataupun hati yang baru.

"Sa, aku mau nikah bulan depan."

"Rian mau nikah. Bulan depan. Dengan ustadzah Syaila."

Nisa tidak bisa menghindari pemikirannya sendiri, ataupun menyembunyikan rasa kecewanya. Ia lalu teringat pada satu ayat yang mengartikan, bahwa Tuhanmu tidak akan meninggalkanmu. Nisa lantas mengambil air wudhu dan meraih sajadah dari dalam lemari. Semua sudah ia pasrahkan pada yang lebih hak atas seluruh hidupnya.

"Ya Allah, aku pasrahkan jalan hidup hamba padamu, ya Allah. Hamba ikhlas atas semua yang sudah terjadi. Berikan hamba kesabaran, luaskanlah hati hamba untuk bisa memaafkan dan menerima keadaan ini ya Allah. Aamiin." Air mata bening mengalir dari kedua pipinya.

The Past (Tamat) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang