Sang ayah yang mendengar kabar itu, langsung mengklarifikasi alasan yang membuat Rian ingin membatalkan pernikahannya sendiri.
"Apa alasan kamu mau batal nikah sama Nisa?" tanya sang ayah datar.
"Aku nggak tahu, Pah. Tiba-tiba aja pikiran buat batal nikah muncul. Rian nggak tahu apa-apa," jelasnya dengan wajah penuh kebingungan.
"Tapi kamu batal nikah bukan karena ada perempuan lain 'kan?" Rian sontak terdiam saat mendengarnya.
"Kalau kamu emang udah nggak ada rasa sama Nisa, dan nggak yakin tentang hubungan kamu sama dia, kamu bisa pergi, Nak. Tapi kalau karena perempuan lain, berarti Papa udah gagal mendidik kamu selama ini," tegasnya menatap serius pada manik milik Rian.
"Menyerah sama hubungan karena ada perempuan lain itu sakit. Kamu nggak akan pernah tahu rasanya, karena kamu bukan Nisa," lanjutnya.
"Nggak, Pah. Papa salah besar! Nggak ada perempuan lain di hidup Rian selain Nisa."
"Kamu masih yakin mau batal nikah?" tanya sang ayah memastikan.
"Yakin, Pah," jawabnya penuh keyakinan.
"Kalau begitu, besok kamu datangi rumah Nisa, ngomong baik-baik ke Nisa dan keluarganya. Dan apapun yang terjadi nanti, kamu harus terima resikonya," pesan sang ayah pada putra sulungnya itu.
"Iya Pah," balasnya.
"Dan satu lagi Rian," ucap sang ayah menatap tajam pada sorot mata lawan bicaranya itu, "jangan kecewakan Papa lagi setelah tindakan kamu ini."
Siang itu, Rian benar-benar menjalankan niatnya mendatangi rumah Nisa. Bukan hal yang mudah, semua ini butuh keberanian dan penerimaan yang lapang untuk keluarga Nisa.
"Duduk dulu, Nak Rian. Ibu buatkan minum," ucap Ibu Renata yang begitu antusiasnya.
"Wah siang-siang gini calon ipar datang ke rumah, lagi nggak dinas ya?" sahut Fafa sembari berjalan beriringan dengan Nisa.
"Kamu datang Ian? Tumben," tambah Nisa mengerutkan kening.
"Iya, aku mau bicara penting. Ngomong-ngomong abi kemana?"
"Penting bangat ya, sampai nyariin abi?"
Sembari tanya dibalas tanya, Ibu Renata datang dengan nampang di tangannya.
"Minum dulu, Nak Rian," tawarnya penuh keramahan.
Saat Ibu Renata hendak meninggalkan ruang tamu, Rian dengan sigap menahannya dan menyuruhnya duduk.
"Kenapa Nak, Rian?"
"Jadi sebelumya Rian minta maaf sama Ibu, Nisa dan kalian semua. Kalau kedatangan Rian ke sini, akan tidak mengenakkan buat Ibu, termasuk Nisa." Rian menatap sendu pada bola mata Nisa, tersirat kebingungan pada raut wajahnya.
"Sebenarnya Rian merasa berat mengatakan ini, tapi Rian juga harus jujur sebelum semuanya terlambat."
"Nggak apa-apa Nak, Rian. Ngomong aja. Ibu akan dengar dan terima apapun itu," ucap Ibu Renata tetap tenang.
"Rian minta maaf, Rian nggak bisa lagi melanjutkan hubungan ini." Semua orang kaget mendengar kalimat yang sungguh tidak mengenakkan ini.
"Apa!" kaget Nisa.
"Nisa, aku minta maaf, hubungan kita cukup sampai di sini aja," ucapnya pada Nisa yang sedari tadi sudah menahan raut kecewanya, Fafa berusaha menguatkan dengan terus mengusap berkali-kali pada punggung Nisa.
"Rian, kamu nggak bercanda 'kan?" Air mata itu sudah tidak dapat ia bendung.
"Kita nggak bisa lanjut ke pernikahan," jelasnya sekali lagi.
"Tapi kenapa, Ran? Apa kamu udah bosan, sama aku? Udah nggak cinta? Atau, ada perempuan lain selain aku? Tega kamu Ran! Aku nggak nyangka, akhirnya bakal kayak gini. Aku kecewa sama kamu Ran. Semua janji, komitmen, itu semua palsu! Aku benci kamu Ran." Raut wajah itu nampak sangat kecewa, mata merah dengan tangisan yang tak ada hentinya mengalir. Semua terlihat seperti duri, terasa sangat menusuk.
"Bukan itu maksud aku, Nisa. Aku akhir-akhir ini emang udah ngerasa nggak cocok, dan kita tidak bisa melanjutkan ketidakcocokan ini." Alasan Rian terdengar logis, membuat Ibu Renata ikhlas dengan apa yang akan terjadi.
"Kalau memang itu mau kamu, oke, kita selesai." Dengan tangis yang masih mengalir, Nisa beranjak pergi meninggalkan situasi dimana ia dihancurkan untuk kedua kalinya.
Saat itu, kilatan benci yang diatasnamakan cinta, langsung bersarang dalam diri seorang Nisa. Memang bukan takdirnya untuk bisa berhasil dalam hubungan percintaan. Setiap jalan yang ia coba bangun, perlahan membunuhnya sendiri. Luka lama yang belum begitu pulih, kini harus terulang dengan rasa pahit yang sama.
Baginya, pria di dunia yang ia temui tidak lain dihidupkan Tuhan hanya untuk mempermainkan hidup wanita. Tidak lain dihidupkan hanya untuk memberikan hal-hal palsu yang tak kunjung menjadi pasti. Kini hatinya sudah dipenuhi salju, akan sulit melelehkannya setelah luka berganda kali lipat menyerangnya.
Plak.
Tamparan langsung dari tangan Dimas mendarat keras di wajah Rian. Begitu kecewanya ia saat tahu Rian memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Nisa. Selama ini Dimas percaya bahwa Rian akan menjaga Nisa dengan baik, tetapi justru kepercayaan itu berujung rasa penyesalan yang tak mungkin bisa untuk Dimas perbaiki lagi.
"Jadi ini sisi kelaki-lakian lu, Ran? Ninggalin perempuan di tengah jalan? Lu nggak pantas disebut laki-laki!" Dimas melampiaskan kemarahannya. Yang dipercayai tak selalu bisa bertanggung jawab.
"Gua masih laki-laki, Dim. Ini masalah perasaan, gua nggak ada maksud nyakitin Nisa. Hubungan ini udah nggak bisa dilanjut lagi."
"Nggak usah membenarkan diri, Ran. Lu udah gugur jadi laki-laki di mata gua!" Telunjuk itu untuk pertama kalinya tertangkap dalam bidang pandang Rian, tepat pada bola matanya.
"Jangan pernah lu datang di hadapan gua lagi, gua muak sama lu, Ran!" ucap Dimas untuk terakhir kalinya dan pergi. Semua beban justru singgah di pundaknya.
"Sepeduli apa lu sama Nisa, Dim? Sampai lu udah nggak mau lirik saudara lu sendiri?" sahut Rian dari jauh, masih terdengar kental pada indra pendengaran Dimas. Tanpa membalikkan badan, Dimas tetap melanjutkan langkahnya tanpa meninggalkan jawabannya.
Di samping kehidupan yang sedang berjalan, dua orang wanita saling meringkuh pilu. Yang satu tengah rapuh, yang satu mencoba menguatkan.
"Gue kenapa, Fa? Kenapa gue sepertinya nggak ditakdirkan untuk sekedar dicintai, menikah dan hidup bahagia? Kapan hal-hal baik akan datang ke dalam hidup gue, Fa? Jujur gue capek." Kali ini Fafa berusaha untuk tidak membuka mulutnya. Membiarkan Nisa melepas semua beban yang ia sembunyikan dengan sangat rapat selama ini.
"Gue udah melewati banyak hal, pahit perih gue terima semuanya Fa. Tapi ini yang gue dapat?" Ia menatap nanar pada dinding kosong, sembari menyenderkan kepalanya di pundak Fafa. "Gue nggak tau rencana Tuhan apa, tapi proses yang gue jalani sampai sekarang ini, itu nggak mudah. Dan sekarang gue harus nerima ini lagi?" lanjutnya, berharap ada jawaban atas ketidakberuntungan hidupnya.
"Kapan gue bisa bahagia dengan tenang. Tanpa kecewa, tanpa gue harus menangis, dan tanpa gue mengingat masalalu gue yang nggak pernah ada habisnya muncul di hidup gue?! Ternyata jalan gue untuk membuka hati itu salah. Gue capek, Fa." Menghembuskan nafas kasar, bersamaan dengan air matanya yang lolos sedari tadi.