DUA PULUH DUA

16.5K 1.8K 150
                                    

"Aku masih sering bertanya,
Apakah dia orangnya,
yang Engkau kirimkan,
untuk menjadi jawaban,
dari setiap bait do'a.

jawabnya adalah iya,
karena hati kecil
sesungguhnya tak pernah bisa berdusta."

***


Pintu lift di lantai dasar, terbuka. Zia sudah sampai di depan lobi. Dia mempercepat langkah dan kedua matanya menangkap bayangan seseorang yang berdiri di lobi.

Bang Hayyan.

Lelaki itu berjalan menghampirinya.

"Kita pulang sekarang, Zia." Hayyan menarik ujung tas yang dipegang oleh Zia.

"Abang. Maafin Zia." Gadis itu berkata lirih.

"Kamu sudah membuat detak jantung Abang hampir berhenti. Abang hampir menyusul ke lantai 30. Kalau saja Riyad menyentuh kamu barang satu senti pun, Abang tidak segan akan menghajar dia sampai babak belur. Jangan diulangi lagi seperti hari ini. Dulu Riyad adalah orang baik. Abang sudah merelakan Kirana bahagia dengan lelaki yang ia pilih. Tapi sekarang ia sudah berubah."

Hayyan membuka pintu mobil untuk Zia. Gadis itu masuk dan meraba pergelangan tangannya yang masih nyeri karena sempat dipegang kuat oleh Riyad. Gelang kesayangannya. Tidak ada. Wajah Zia berubah pucat.

Hayyan masuk ke dalam mobil dan mulai menyalakan mesin.

"Ada apa Zi?"

"Nggak apa-apa Bang."

"Kamu yakin nggak apa-apa? Apa Riyad sudah menyakiti kamu?"

Zia menggeleng. Berusaha menutupi nyeri yang masih dia rasakan. "Tadi Pak Riyad mengirimkan foto Abang sama Mbak Kirana. Apa Abang sebelum kesini, ketemu berdua istrinya Pak Riyad?"

Hayyan beristighfar. Siapa yang dengan kurang ajar berani mengabadikan foto dirinya dan Kirana. Rupanya Riyad masih memiliki mata-mata di rumah sakit tempatnya bekerja.

"Iya. Maafin Abang karena nggak cerita. Baru saja Kirana datang ke rumah sakit dan Abang mengiyakan untu menegaskan tentang hubungan kita berdua. Bahwa kita sebentar lagi akan menikah."

Kedua manik Zia menatap lembut ke arah Hayyan. "Iya, Zia percaya sama Abang. Terima kasih Abang sudah cerita sama Zia. Abang menyusul Zia kesini?"

"Riyad yang memberitahu kalau kamu ke kantornya. Insya Allah Abang akan menang dalam perkara ini, Zi. Kamu nggak usah terlibat lagi ya. Cukup ada di sisi Abang dan berdo'a yang terbaik. Itu sudah membuat Abang tenang."

Hayyan segera mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang.

"Maafin Zia ya Bang. Sudah membuat Abang khawatir."

Ingin rasanya Hayyan memeluk Zia dan tidak melepaskannya lagi. Lelaki itu tidak buru-buru mengantar Zia ke rumahnya. Ia membelokkan mobil ke arah rumah Eyang Ibu. Eyang masih dalam masa pemulihan paska operasi, sehingga Hayyan kemarin belum sempat mengajak Zia bertemu.

Semalam Eyang menelepon Hayyan ingin bertemu dengan calon istri cucu pertamanya. Mereka sampai di rumah Eyang saat adzan Maghrib tiba. Rumah satu lantai dengan halaman luas dan tanaman anggrek yang memenuhi teras depan, menjadi pemandangan khas rumah Eyang Ibu.

"Zia. Kita sudah sampai."

Zia mengerjapkan mata beberapa kali. Dia tertidur dengan lelap dan masih terlihat manis meskipun baru saja terjaga.

"Ini dimana Bang?" Gadis itu melepas seatbeltnya.

"Kita mampir sebentar ya, ke rumah Eyang. Eyang sudah masakin ikan bakar dan sayur asem kesukaan Abang. Eyang mau ketemu Zia. Nanti habis salat maghrib dan makan malam, kita langsung pulang."

LOVE MANNER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang