TIGA PULUH TIGA

10.5K 1.1K 101
                                    

"Terkadang kita perlu
merasakan arti jatuh,
agar bisa kembali berdiri.

Terkadang kita perlu
mengerti arti kehilangan,
agar tetap bersyukur.

Namun aku terus berdo'a,
untuk tidak melupakanmu,
dan mengingat lagi semua
kenangan tentang kita."

***

KEYZIA

Jam tiga pagi. Aku kembali terjaga, meski tidak ada bunyi alarm ponsel abang yang membangunkanku. Aku meraba sisi kiri tempat tidur. Air mataku menitik tanpa bisa aku tahan. Abang ada di sampingku. Setelah kejadian semalam.

Saat abang datang meski hujan deras. Abang memaksakan pulang untuk memenuhi permintaanku. Makan malam bersama di rumah. Tidak ada menu istimewa. Masakan yang kumasak sejak sore, lagi-lagi gosong dan tak layak dimakan. Akhirnya aku hanya bisa memesan ayam goreng mentega dan sayur cap cai.

Aku bisa melihat perubahan wajah abang. Ia tidak pandai berbohong. Ia pasti tahu ini bukan hasil karyaku. Tapi aku begitu bahagia, karena abang akhirnya tidak pulang di atas jam 10 malam. Ia memenuhi janjinya untuk menghabiskan makan malam bersamaku.

"Enak?" Kali ini aku bertanya sambil membersihkan sudut bibir Abang yang ada sisa nasi disana.

Aku lalu bertopang dagu, masih duduk sambil memandang wajah suamiku dengan penuh cinta.

"Enak. Terima kasih ya sudah memasak..."

Aku menahan air mataku di meja makan. Mengapa aku jadi mudah menangis seperti ini. Seperti bukan diriku. Aku yang biasanya kuat dan tidak lemah. Selalu menganggap semua akan berlalu dan baik-baik saja.

"Bukan Zia yang memasak. Maaf ya Bang, masakan Zi gagal. Jadi tadi Zi buang."

Abang terlihat kaget dengan penjelasanku. "Kenapa dibuang?"

"Takut Abang nanti jadi sakit perut."

Abang tersenyum geli mendengar jawabanku dan aku sudah begitu bahagia melihat ekspresi wajahnya yang kekenyangan.

"Terima kasih telah makan malam bersama Zia. Maafin Zi jadi egois hari ini. Zi nggak akan minta Abang pulang cepat lagi, kalau memang masih banyak urusan yang lebih penting di rumah sakit."

Abang menatapku. Aku belum menemukan kembali cinta di matanya, seperti saat awal kami menikah.

"Kalau itu bisa membuat Zia senang, Abang akan usahakan memajukan jam praktek supaya bisa pulang sebelum jam 9 malam."

Benarkah? Karena aku penting di hati Abang?

"Nggak usah Bang. Karena Zia tahu, Zia bukan menjadi prioritas yang penting dalam hidup Abang."

Cup.

Aku bahkan mengatakan hal yang berlawanan dengan isi hatiku. Tapi aku tetap mencium pipi suamiku dengan penuh sayang.

Begitu tangan kami bersentuhan ketika sedang membereskan piring di meja makan. Tiba-tiba saja Abang menarik jemarinya, seperti enggan menyentuh tanganku.

"Abang kenapa?"

"Nggak apa-apa, Zi. Maaf Abang mau ke ruang baca dulu ya. Ada yang harus Abang buat untuk presentasi di rumah sakit."

Kami bagaikan dua kutub yang saling melawan satu sama lain. Dua orang dalam satu ruangan yang sama. Tapi seolah jarak kami terpisah jauh.

Aku mencoba menghalau pikiran negatif di benakku. Abang sudah beranjak pergi. Masuk ke dalam ruang baca yang merupakan ruang pribadi di dalam rumah. Tempat kami dulu belajar bersama dan juga mengurai tawa serta canda.

LOVE MANNER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang