"Seperti partikel cahaya,
yang tak kasat mata,
namun mampu melintasi
ruang hampa.Begitulah cinta kita,
melewati batas masa,
dan berselimutkan do'a,
hingga menembus relung jiwa.sejatinya demikian cinta
bermukim dan berharap,
hanya pada ridho Allah semata."***
IBNU HAYYAN
"Insya Allah pekan depan saya akan datang bersama Ayah dan adik-adik saya untuk acara perkenalan keluarga."
Kali ini Zia tidak lagi menunduk. Aku berhasil membuat dia terkejut. Mungkin karena aku belum pernah membicarakan dengannya secara detail, mengenai pernikahan kami.
Dia tampak bingung tapi justru membuatku tersenyum geli, melihat ekspresi dahinya yang berkerut.
Beberapa hari ini, sebelum aku memutuskan untuk menemui Zia, aku sudah banyak berdiskusi dengan Ayah.
Awalnya Ayah juga tidak menyangka, nama little Zi yang beberapa kali sering dibicarakan Ibe adikku, ternyata adalah perempuan yang akan aku lamar.
Ayah banyak memberiku nasihat, sebagai bekal memulai hidup berkeluarga. Bagaimana peran suami untuk istri dan juga peran sebagai pemimpin dalam keluarga. Dari Ayah pula, akhirnya aku tahu mimpi-mimpi beliau sewaktu Ibu masih ada.
Banyak hal yang ingin Ayah wujudkan bersama almarhumah Ibuku, namun belum sempat terlaksana. Ada guratan kesedihan di wajah Ayah. Beliau berharap aku tidak mengalami penyesalan yang serupa.
Dulu Ayah terkadang berat untuk meminta maaf kepada Ibu, apabila beliau sedang marah. Mungkin saat itu beliau letih karena banyak tindakan operasi. Beliau juga sering lupa mengucapkan terima kasih untuk perhatian yang telah Ibu berikan.
Sekalipun Ibu harus berangkat pagi untuk mengajar di sekolah, tapi beliau selalu menyempatkan memasak untuk kami. Bila kami tidak sempat sarapan, Ibu sudah menyiapkan 4 tempat makan dan 4 botol minum untuk kami bawa.
Ayah, aku dan kedua adikku. Bahkan Ibu tidak sempat menyiapkan bekal untuk dirinya sendiri. Setelah Ibu mulai sakit dan sering keluar masuk rawat inap, kami bergantian memasak untuk Ibu. Itu sebabnya aku dan kedua adikku bisa memasak meski hanya menu sederhana.
Di ujung percakapan semalam dengan Ayah, beliau menanyakan wajah Zia seperti apa. Jujur aku tadinya tidak punya foto Zia. Aku ingin meminta tapi aku takut dia salah paham.
Akhirnya waktu Zia pernah aku ajak ke rumah, aku terpaksa minta tolong Bibik. Dengan cara halus meski mungkin terdengar konyol. Bibik bilang mau foto Zia buat kenang-kenangan. Akhirnya Zia mau difoto memakai ponsel milik Bibik. Adakah alasan lain yang lebih absurd dari itu.
Ketika melihat foto Zia, meski hanya dari samping, Ayah tersenyum. Beliau hanya ingin memastikan aku memilih calon istri yang baik.
Semoga saja dengan pernikahan ini, aku dan Zia bisa belajar bersana untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Mempertemukan sifat-sifat baik dan mengurangi kebiasaan buruk yang kami bawa sebelumnya.
Satu hal yang kemudian melapangkan hatiku. Ayah memberikan kepercayaan penuh untukku. Beliau memberikan do'a restu untuk niat baikku bertemu dengan kedua orangtua Zia. Dan disinilah kini aku berada.
"Apa itu tidak terlalu cepat, Nak Hayyan? Kakaknya Zia dan adiknya dulu melewati waktu lebih dari enam bulan untuk pertemuan keluarga, baru kemudian bertunangan dan tahun berikutnya menikah."
Papa dan Mama Zia terdengar keberatan dengan keinginanku mempercepat pernikahan.
Aku masih mengingat pembicaraanku di telepon dengan Zia. Meskipun dia menyayangi kedua orangtuanya dengan tulus, tapi aku tidak mau Zia terlalu lama terluka di rumah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE MANNER
RomanceTreat someone like you want to be treated. Love someone like you want to be loved. Do not harm someone like you do not want to be harmed. Perlakukan seseorang seperti kamu ingin diperlakukan, Cintai seseorang seperti kamu ingin dicintai, Jangan...