"Karena hidup adalah
bagaimana menatap
warna pelangi,bersama seseorang
yang engkau cintai,
dan mencintaimu
selamanya."***
IBE
Sejak pukul tiga pagi, sebenarnya aku tidak bisa tidur nyenyak. Apalagi setelah aku mendengar Indri menyalakan air kran kamar mandi. Aku melihat jam di samping tempat tidur. Sudah 30 menit istriku berada di dalam. Suara kran berhenti mengalir. Tapi dia tidak kunjung keluar dan tempat tidur di sisiku masih tak berpenghuni.
Apa barusan aku sudah keterlaluan padanya? Tadi aku terkejut ketika Indri mengangkat telepon. Aku tahu Karina ada di seberang sana. Entah dia sengaja atau tidak meneleponku, aku tidak peduli.
Yang aku peduli adalah perasaan Indri, ketika dia tahu Karina masih berusaha menghubungiku. Aku tidak ingin Indri salah paham. Sejak tadi di rumah sakit, aku sengaja tidak menggubris telepon dari Karina. Sekarang malah Indri yang menjawab telepon.
Aku tidak tahan lagi dan memutuskan untuk menghampiri Indri. Kubuka pintu kamar mandi, tepat ketika istriku juga keluar. Kami saling berdiri berhadapan. Kudapati wajah Indri terlihat sembab. Kelopak matanya sedikit bengkak.
Apa mungkin istriku sedari tadi menangis di kamar mandi? Apakah aku yang membuatnya menangis? Aku mengacak rambut.
Ya Tuhan. Mengapa begitu sulit aku mengerti isi hati perempuan? Apa sikapku tadi benar-benar kasar sehingga membuat dia bersedih?
"Dek, kamu habis nangis?" Pertanyaan bodoh, namun aku ingin benar-benar memastikan.
Istriku mengangguk pelan. Mengambil jarak untuk berjalan mendahuluiku, namun aku berhasil mencegahnya pergi.
"Maafin Abang." Aku memeluk Indri.
Sejak dulu aku paling sulit mengakui kesalahan. Bahkan ketika bertengkar dengan Bang Hayyan atau IR, tidak pernah sedikit pun aku mau mengalah. Karena aku selalu merasa pendapatku benar dan memiliki alasan kuat untuk mempertahankannya.
Tapi dengan Indri begitu berbeda. Proses perkenalan kami yang relatif singkat, membuatku ingin terus belajar memahami sifatnya. Begitu juga dia. Pada akhirnya dia tahu sisi menyebalkan dari diriku.
"Ayah tidak pernah bicara keras sama aku, seperti Abang barusan."
Ada rasa amarah menyelinap di hatiku, karena seolah Indri membandingkanku dengan ayah mertuaku. Tapi memang salahku juga karena melibatkan emosi, di saat pulang kerja dan dalam keadaan lelah. Aku menarik napas panjang berulang kali dan menggandeng tangan Indri. Kami berdua duduk di tepi tempat tidur.
"Abang nggak bisa jadi pria sabar seperti Ayah, karena Abang memang bukan Ayah. Tapi Abang mau belajar bersabar." Aku mengangkat dagu istriku dan mengecup keningnya.
"Abang tuh nggak peka." Indri memukul bahuku. Perlahan. Bahkan tidak terasa sakit sama sekali. Aku kembali membawa Indri ke dalam dekapan.
"Jangan nangis lagi, Sayang."
Indri mengangguk lemah.
"Tadi Karina bilang apa, di telepon?" Aku bertanya sambil mengusap punggung Indri.
"Dia bilang papanya terkilir saat main golf. Entah dislokasi atau fraktur. Dia minta Abang merawat Papanya."
Aku melepaskan pelukan dan memandang lekat ke wajah istriku.
"Adek bolehin Abang merawat Papanya Karin?"
Wajahku sedikit terkejut karena Indri mengangguk.
"Kita harus memperlakukan semua pasien sama, Bang. Nggak boleh pilih-pilih pasien atau bedain satu sama lain. Adek percaya sama Abang. Abang akan melakukan yang terbaik untuk pasien."
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE MANNER
RomansaTreat someone like you want to be treated. Love someone like you want to be loved. Do not harm someone like you do not want to be harmed. Perlakukan seseorang seperti kamu ingin diperlakukan, Cintai seseorang seperti kamu ingin dicintai, Jangan...