"Bila suatu saat terjatuh,
atau tersandung,
sejatinya kita akan belajar.bahwa rasa sakit itu,
akan mendewasakan
dan mengingatkan,bahwa setelahnya,
aku dan kamu,
akan tersenyum bahagia."***
Senin jam 15.00.
Al Madani Medical Shop.Arin memarkir mobil dinas RS tepat di depan toko. Dia meminjam mobil ke Pak Gio bagian humas dan perizinan untuk membeli beberapa alat kesehatan untuk dokter jaga IGD.
Zia yang ikut bersama Arin, masih tidak percaya kalau perempuan berhijab lebar di sampingnya ini, bisa menyetir mobil.
"Kamu keren banget, Rin. Aku tuh pengen banget bisa nyetir mobil. Bang Hayyan malah nggak bolehin aku. Cuma gara-gara aku hampir nabrak tiang listrik, karena hindarin kucing tetangga yang lagi lewat dan pacaran."
Arin tertawa mendengar cerita Zia.
"Salah kucingnya ya Zi, nggak punya Surat Izin Pacaran sampai bikin kamu kaget. Dulu waktu Ayah masih ada, aku pernah diajarin nyetir truk. Kata Ayah, suatu hari nanti aku nggak boleh bergantung sama orang lain. Tapi kamu mah beda Zi. Dok Hayyan kayaknya seneng-seneng aja nganterin kamu pergi."
"Kamu beneran bisa nyetir truk, Rin?" Zia semakin takjub.
"Aslinya nggak bisa kok, Zi. Aku cuma bisa nyetir mobil biasa. Baru-baru aja berani nyetir lagi, setelah Ayah meninggal. Ayahku kecelakaan di Puncak sewaktu mau antar barang dari Sumedang ke Jakarta."
Arin terlihat sedih karena terpaksa membuka luka lama. Zia jadi tidak enak. Tapi pandangan matanya teralih pada sesuatu. Arin biasanya memakai manset sampai menutupi pergelangan tangan. Kali ini tidak.
"Maaf ya Rin, aku jadi ingetin kamu sama almarhum Ayah. Eh, tangan kamu kenapa Rin?" Zia menunjuk ke tamgan Arin yang tampak berbeda warna kulit.
Tanpa malu Arin menunjukkan bekas luka bakar di lengan kanannya.
"Oh ini? Ini bekas kena air panas waktu aku kerja part time pas SMA."
Zia memperhatikan dengan lebih teliti.
"Jadi keloid gitu ya, Rin?"
Arin menggangguk.
"Sebulan sekali disuntik obat sama dokter Susi untuk ngurangin bekas lukanya. Ini sudah nggak seberapa mengerikan dibandingkan dulu, Zi. Nggak cuma di tangan. Ada di dada sampai perut."
Zia spontan beristighfar.
"Ya Allah, Rin."
"Nggak papa kok, Zi. Semua sudah berlalu. Ketika Allah memberi kita musibah, berarti Allah ingin menghindarkan kita dari musibah yang lebih besar lagi."
Masya Allah, bertambah satu lagi kekaguman Zia sama Arin. Betapa gadis ini begitu sabar menghadapi ujian hidup dan keyakinannya pada Allah, begitu besar.
"Zi."
Mereka berdua masih berada di dalam mobil. Arin belum mematikan mesin.
"Maaf sebelumnya aku mengajakmu kesini. Aku harap kamu nggak marah apalagi benci sama aku, Zi."
Arin menatap ke arah Zia yang terlihat polos.
"Kenapa aku harus marah?" Zia bertanya tidak mengerti.
"Sebenarnya, kita kesini bukan cuma mau beli alkes buat IGD. Aku juga mau beli alkes buat acara baksos di Panti asuhan." Arin menjelaskan.
"Wah, malah bagus dong. Aku sudah ke Panti sama Abang minggu kemarin. Fasilitas cuci tangannya masih kurang. Jadi sekarang, apa yang mau kita beli?"
Zia terdengar bersemangat.
"Tadi pagi Pak Riyad kirim pesan. Beliau sudah pesan masker 20 box, hand sanitizer dan botol desinfeksi buat anak-anak Panti. Bang Burhan yang nanti mau ambil. Bang Burhan dulunya teman Ayah, sekarang kerja sama Pak Riyad. Aku cuma disuruh bayar aja. Beliau sudah transfer ke rekening aku."
"Oh, kamu sama Pak Riyad, memang dekat banget ya, Rin?"
Wajah Arin tiba-tiba tersipu.
"Pak Riyad ayah asuh aku. Beliau yang biayain kuliah aku, Zi. Aku sudah pernah cerita kan ya? Apa belum." Sejenak Arin meragu.
Zia tersenyum tipis. "Kamu suka sama Pak Riyad, Rin?"
Seketika Arin terkejut dengan pertanyaan Zia.
"Nggak. Nggak ada perasaan apa-apa kok." Arin mengelak.
"Belum aja kali, Rin." Zia terkikik.
Arin mencubit pipi Zia gemas, karena Zia berhasil membuat pipinya merona malu. Gadis itu lalu tersadar salah satu tujuannya juga memberikan titipan dari Pak Riyad untuk Zia.
"Zi, sebentar ya. Pak Riyad bawa sesuatu buat kamu." Arin mengeluarkan kotak berwarna coklat dari dalam tas.
Zia tertegun.
"Beliau sebenarnya mau ketemu langsung buat kembaliin ini ke Zia. Tapi beliau tahu kalau kamu nggak mau ketemu."
Zia membuka kotak itu. Gelang ini. Gelang yang benar-benar jatuh di kantor Pak Riyad. Ada sebuah amplop putih di dalam kotak.
"Ini? Surat buat aku?"
"Iya. Ada yang mau aku kasih tahu ke kamu. Mungkin aku mewakili Pak Riyad. Aku tahu pasti kamu akan canggung dan mungkin kaget dengarnya."
Zia memakai kembali gelang itu di tangan kanannya. Gelangnya sudah kembali. Hatinya diliputi rasa bahagia karena yang dia kira hilang, sudah kembali.
"Kenapa Rin? Aku siap kok dengerin."
Zia tidak putus tersenyum memandang ke arah gelang cantik dengan inisial namanya. Akhirnya dia tidak perlu lagi bertemu Pak Riyad.
"Pak Riyad kemungkinan adalah kakak kandung kamu, Zi. Tapi ini baru mungkin."
Senyum di wajah Zia seketika menghilang, mendengar perkataan Arin.
"Kakak? Nggak mungkin, Rin. Aku yatim piatu. Ibu kandungku sudah nggak ada. Aku dari bayi dititipin ke Panti asuhan."
"Kata Pak Riyad, gelang itu punya ibu kandung beliau. Ada ukiran nama di balik gelang itu Zi. Nama ibu dan ayahnya Pak Riyad."
Rasanya waktu seperti berhenti di sekeliling Zia. Dia tidak ingin mendengar pembicaraan ini lagi.
"Lalu kenapa Pak Riyad jahat sama aku, Rin? Kenapa Pak Riyad jahat sama Abang Hayyan?"
"Aku rasa karena beliau baru tahu kalau kalian berdua kemungkinan bersaudara."
Zia menggigit bibir. Dia tidak mau percaya kata-kata Arin. Tapi selama ini Arin tidak pernah berbohong.
"Rin, kata-kata kamu nggak benar kan?"
"Maaf kalau aku jadi bikin kamu sedih Zi. Tapi untuk membuktikan kalau aku salah, kamu sebaiknya tes di laboratorium genetik. Pak Riyad ingin ketemu kamu, untuk ajak kamu tes."
Rasanya Zia ingin menangis.
"Aku nggak mau Rin. Pak Riyad bukan kakak aku dan aku juga nggak mau punya kakak jahat kayak dia."
Arin mematikan mesin mobil.
"Maafin aku ya Zi. Aku cuma menyampaikan amanah dari Pak Riyad. Yuk, kita turun. Kita nggak lama kok. Habis ini aku antar kamu pulang."
Zia menurut, meski hatinya berubah kelabu. Dia berjalan di belakang Arin dan diam-diam membuka isi amplop itu.
Ada foto. Hanya selembar foto seukuran dompet. Di dalamnya ada gambar seorang laki-laki mengenakan jas, seorang perempuan dengan gaun terusan sampai ke lutut dan seorang anak laki-laki mirip Pak Riyad. Tampak tulisan di kertas kecil yang terlipat rapi di balik foto itu.
"Papa, Mama, Riyad dan calon adik."
Zia meraba wajah di foto itu.
Mama. Benarkah itu Mama kandungnya? Tiba-tiba saja air mata Zia menitik tanpa bisa dia tahan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE MANNER
RomanceTreat someone like you want to be treated. Love someone like you want to be loved. Do not harm someone like you do not want to be harmed. Perlakukan seseorang seperti kamu ingin diperlakukan, Cintai seseorang seperti kamu ingin dicintai, Jangan...