EMPAT PULUH LIMA

12.8K 1.2K 149
                                    

"Aku tidak pandai
mengurai kata,
juga tidak piawai
mengungkap rasa,

Hanya ada satu,
yang aku mau,
yaitu kamu dan dia,

yang bersemayam
penuh cinta,
di dalam dirimu."

***

RS Avicenna.

"Lepaskan tangan anda dari istri saya."
Hayyan menghampiri Riyad dan Zia.

"Zia, kita pulang sekarang." Hayyan menggandeng tangan Zia.

"Tolong urus mantan istri anda baik-baik. Tugas saya menolong dia, sudah selesai sampai disini."

Zia sampai takut melihat suaminya benar-benar marah dan seperti hendak memukul wajah Pak Riyad.

Zia juga salah. Bisa-bisanya dia terbawa perasaan memeluk balik Pak Riyad. Bagaimana kalau ternyata mereka tidak benar-benar bersaudara.

Tapi perasaan tadi. Zia tidak bisa berbohong. Perasaan itu muncul setiap kali dia menatap wajah di dalam foto. Zia mirip dengan papa dan Riyad mirip dengan mama.

"Maafin Zia, Bang."

Meski marah, Hayyan tetap menggenggam jemari Zia dengan lembut. Hanya saja tangan itu lebih dingin dari biasanya.

Sampai di dalam mobil, Hayyan diam sejenak. Ia menyalakan mesin mobil dan pendingin. Berusaha meredam kekesalannya. Hayyan melepas masker dan jemarinya juga bergerak membuka masker yang dipakai oleh Zia.

Zia masih menunduk. Jemari Hayyan mengangkat dagu Zia.

"Tatap mata Abang, Zi." Hayyan mencari kejujuran disana.

"Siapa Riyad sebenarnya? Jangan biarkan Abang salah paham."

Gigi Zia sedikit berbunyi karena takut.

"Abang juga jangan buat Zia salah paham. Kenapa Abang yang harus menunggu mbak Kirana di rumah sakit. Dia masih punya keluarga. Masih ada orangtua. Nggak kayak Zia. Zia yatim piatu, Bang. Zia nggak punya siapa-siapa."

Seketika itu juga, Hayyan membawa Zia ke dalam pelukannya. Dikecupnya puncak kepala Zia berulang kali.

"Maafin Abang, Sayang. Abang tadi hanya berniat menolong karena Kirana ditabrak orang, tepat di depan mata Abang."

Zia menangis sesegukan, membasahi kemeja Hayyan.

"Tapi Abang ditelepon, minta Zia pulang. Padahal Zia kangen sama Abang. Zia pengen ketemu Abang."

Hayyan masih mengusap punggung Zia dengan penuh sayang. Diambilnya beberapa helai tisu di dashboard. Dihapusnya air mata di pipi istrinya.

"Terus maksud Mamanya Mbak Kirana, bilang Abang yang tanggung jawab, itu gimana?"

"Mamanya Kirana hanya emosi sesaat. Tadi Papa Kiran sudah datang dan masuk ke loket kamar operasi untuk dimintai tanda tangan persetujuan operasi. Meskipun masih syok, tapi beliau terlihat lebih tenang. Beliau berusaha menerima musibah ini dengan lapang dada. Mamanya Kiran yang mungkin belum ikhlas."

Zia melepaskan pelukan Abang.

"Kalau Zia minta Abang jangan menengok Mbak Kirana. Apa Abang mau?"

Hayyan terdiam sejenak. "Zia percaya kan sama Abang?"

Zia mengangguk.

"Maaf Zia egois, meminta Abang hanya memperhatikan Zia seorang. Tentang Pak Riyad."

Zia membuka gelang di tangan kanannya dan juga mengambil foto di dalam dompet.

LOVE MANNER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang