Bagian 20

5K 1K 91
                                        

Lita membereskan isi ransel, menata letak beberapa buku agenda di mejanya, dan mematikan komputer. Lelah seharian membantu Nia mengoreksi beberapa artikel untuk naik terbit besok pagi. Kepalanya mulai pusing seharian menatap layar monitor tiada henti.

Lita sendiri tak ambil jatah istirahat. Gadis yang matanya mulai menunjukkan lingkaran hitam itu sengaja menyibukkan diri. Makan saja ia rela sambil bekerja. Otaknya mulai rusak. Sudah dua malam Lita susah tidur. Setiap termenung sendirian, gambaran wajah lelaki itu selalu muncul. Semua tergambar sangat jelas dan saat teringat Yasa, bayangan kejadian itu muncul.

Lita bahkan masih berdebar-debar tak keruan mengingat betapa lembut Yasa memperlakukannya.

"Mau pulang?" Nia yang baru saja keluar membeli sesuatu di minimarket dekat kantor mengamati teman satu mejanya.

"Iya, kepalaku sakit tahu baca artikel sebanyak itu," protes Lita. Wajahnya tertekuk lesu.

"Elah, kan kamu yang minta sendiri." Nia tak mau dipersalahkan.

Lita terkekeh seraya menyandang tas di bahu.

"Eh, di tempat parkir tadi aku ketemu Yasa. Lagi ngobrol bentar sama Cipto di depan. Paling entar ke sini. Mau nyariin kamu katanya." Nia membuka bungkus potato chips.

Tak butuh berpikir lama, mendengar nama lelaki itu membuat Lita mengambil langkah seribu lewat pintu belakang.

"Oiy, kenapa sih?!"

Tak ada jawaban. Gadis itu terus berlari meski lututnya sempat terbentur kaki meja dan membuat langkah sedikit pincang.

***

Pesan tak berbalas, telepon tak diangkat, dicari pasti kabur. Yasa sudah bisa menebak alur ini setelah pulang dari pantai malam itu. Sayangnya, Yasa sama sekali bukan tipe manusia yang suka lari dari masalah. Laki-laki jangkung yang mengenakan kaus raglan polos itu lebih suka menyelesaikan masalah sampai tuntas. Kalau perlu kejar sampai titik permasalahannya.

Setelah Cipto berlalu, Yasa memilih berbelok ke halaman samping kantor, melalui jajaran gazebo dan ....

Dapat! Lelaki itu mencekal lengan cewek yang baru saja keluar melalui pintu belakang. Sepertinya Lita tak fokus melihat ke depan dan terus mengamati arah belakang sampai tak sadar Yasa sudah ada di depannya.

"Mau ke mana? Aku bilang jangan kabur-kaburan begini."

Wajah gadis dalam cekalan Yasa itu merah padam. Lita menghela napas panjang sebelum akhirnya ia mendongak dan berdeham. "Oke. Lepasin dulu ini," pintanya.

Yasa menatap ragu. Ia tak yakin gadis ini tak akan kabur lagi.

"Malu diliatin orang ...."

Perlahan meski ada keraguan, Yasa melepas cekalan di lengan kanan Lita. Sedetik, dua detik, tiga detik, keduanya hanya membisu hingga Yasa mengalah mulai buka suara. Namun, seperti dugaannya, Lita berlari lebih cepat dan tak mungkin dikejar sebab beberapa karyawan lain mulai ramai keluar kantor untuk pulang.

***

Lita melempar handuk yang semula menggulung rambut basahnya ke sandaran kursi. Suara bising hairdryer terdengar nyaring. Ia sibuk mendumal sembari mengeringkan rambut. Ponsel di meja terus berkedip.

Ah, kenapa Yasa bisa pantang menyerah begitu, sih?!

Dengan gerakan kasar Lita mencabut kabel pengering rambut lalu meraih benda pipih yang terus menyala. Hanya sekali usap gadis itu menolak panggilan, Yasa tak lagi memaksa menelepon. Namun, pesan beruntun menyambangi panel notifikasi.

"Kita harus bicara."

Bicara yang mana lagi? Soal kejadian di pantai itu? Aku khilaf, Yas ... khilaf! Lita mengerang dalam hati.

Lalita's DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang