Bagian 21

4.2K 966 66
                                    

"Sekarang?" Lita masih tak percaya dengan beban tugas yang selalu datang tiba-tiba.

"Iyalah," jawab Yasa sedikit ketus.

Begitu Yasa menghampiri, lelaki itu hanya tersenyum membalas sapaan Salsa lalu meminta Lita menilik ponsel. Gadis berkaus oversize itu merutuki perintah tugas dari Cipto yang baru saja mampir di grup WhatsApp kantor. Lagi-lagi liputan dadakan.

"Maaf ya, Mbak, aku duluan," pamit Lita merasa tak enakan.

Tak mau terlibat obrolan saling sapa antara Yasa dan Salsa, gadis itu memilih ambil langkah seribu ke arah luar kafe setelah membayar bill di meja kasir. Lita bisa melihat dari luar kafe melalui dinding kaca bagaimana situasi di dalam. Yasa tak langsung bergegas mengikutinya ke luar. Lelaki itu tampak duduk sebentar di hadapan Salsa dan membicarakan sesuatu.

Senyum di bibir berlipstik merah muda itu tak pernah pudar di depan Yasa. Lita bisa melihat sesekali Salsa tertawa kecil sambil menepuk punggung tangan Yasa. Mereka masih seakrab itu.

Lita menghela napas panjang seraya menyandarkan tubuh ke mobil di sisi kanannya. Namun, mobil sedan berwarna merah yang baru datang dengan kaca jendelanya yang terbuka menarik perhatian gadis itu. Tubuh Lita mendadak tegang ketika menyadari sosok pria di balik kemudia yang memarkirkan kendaraan di sebelah mobil Yasa. Pria itu keluar dengan tangan kanan mengepit rokok, mengisap dalam lalu membuang sisanya ke atas paving sembari menyemburkan asap beraroma tembakau ke udara. Tato di sekujur lengannya masih cukup memberikan bayangan kengerian bagaimana telapak tangan kasar itu membekapnya malam itu.

Begitu tatapan keduanya bertemu, Lita tak mau ambil jeda waktu barang sedetik pun. Ia berlari kembali ke dalam kafe lalu duduk tergesa di sisi Yasa, membuat Salsa mengerjap bingung.

***

Yasa segera menyadari apa yang sedang terjadi begitu pintu utama kafe kembali terbuka dan sosok itu masuk dengan senyum miring.

"Ngapain ke sini?" Suara Salsa terdengar sentimen dan tak suka dengan kehadiran suaminya.

"Oh, masih suka ketemuan rupanya." Zuhri menyugar rambut ke belakang.

"Ngapain?" Salsa kembali mendesak.

Zuhri menelengkan kepala, mengamati gadis di sisi Yasa yang terus tertunduk. "Jangan serakah dong, Yas. Hai ... Lalita, kita baru pemanasan, lho."

"Apaan, sih, Mas? Jangan berulah di tempat umum, deh!"

Kesal dan muak dengan tingkah pria berandalan itu, Yasa segera bangkit. Namun, Lita menariknya  untuk duduk kembali.

Zuhri mengangakat kedua bahu lalu terkekeh. "Oke, santai. Kita lanjut lain waktu, Sayang. Aku mau urus Salsa dulu."

Zuhri mencekal lengan Salsa dan menyeretnya pergi. Seketika itu gadis di sisi Yasa kalang kabut, bangkit berdiri seraya memperhatikan bagaimana cara Zuhri membawa istrinya.

"Yas, lakukan sesuatu dong. Kasihan Mbak Salsa-nya." Lita menggoyang bahu Yasa.

"Ada apa ini?" Prita yang baru keluar dari dapur membawa nampan pesanan pelanggan, merasakan aura ketegangan.

Yasa hanya mengembuskan napas tak kentara. "Enggak ada. Pamit dulu, ya, makasih, Prit."

Sepertinya keadaan memang belum berubah. Tak ada celah ketenangan sejenak selama masih ada Zuhri yang terus berputar-putar dalam kehidupan Yasa. Sampai kapan ia harus mengalah untuk menyingkir? Bukankah mereka bersaudara? Bukankah Oma tak pernah membedakannya meski Zuhri kerap berbuat ulah sejak bangku sekolah?

Yasa menggenggam erat telapak tangan Lita dalam gandengannya. Kalaupun ia juga harus melepas gadis ini demi menjaganya, Yasa rela.

***

Lalita's DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang