Yasa duduk berdampingan dengan Eyang Meilan. Wanita berusia hampir 70 tahun itu masih terlihat bugar dan tetap bersemangat saat cucu pertamanya mau menemaninya datang ke acara kawan lamanya.
Sementara Eyang Meilan sibuk mengobrol, Yasa menelisik ke ujung ruangan. Di sana terlihat wanita dengan perut yang semakin membesar. Ternyata dalam kondisi berbadan dua ia tetap cantik. Wanita itu tampak duduk di sisi pria berkemeja cokelat, senada dengan gaun istrinya yang berwarna cokelat susu. Ah, senyum wanita keibuan itu tetap menawan meski sang suami berpawakan kaku dan tak ramah pada tamu. Tangan kanannya tertaut di lengan suaminya.
Yasa menusuk potongan buah di piring, mengunyahnya perlahan lalu menelannya sama perlahan. Namun, sesak di dada membuat apa pun rupa makanan yang ia telan bak duri saja. Saat manik elang Yasa bertemu pandang dengan wanita itu, keduanya saling melempar senyum dan mengangguk.
"Eh, ayo kita ucapkan selamat dan doa dulu sebelum pulang." Eyang Meilan menjawil lengan Yasa.
Ajakan Eyang terpaksa membuat Yasa bangkit usai meminum habis sisa minuman sodanya. Acara empat bulanan kehamilan Salsa sederhana. Hanya mengundang kolega untuk doa bersama dan diakhiri makan-makan. Yasa berhenti tepat di depan Zuhri--suami Salsa--ia tersenyum dan menyalami laki-laki itu. Namun, Zuhri hanya balas menjabat tanpa membalas senyum ramah Yasa, membuat wanita yang tengah mengandung benih cintanya itu merasa tak enak.
"Semoga sehat selalu, Nak," tutur Eyang sembari mencium pipi kiri dan kanan Salsa.
"Terima kasih, Eyang." Salsa melengkungkan bibir seraya mengulurkan tas kertas berisi bingkisan untuk dibawa pulang.
Mata Yasa memang terlalu jeli dan sering tak mau kompromi pada waktu yang tak tepat. Kala tangan dengan jemari lentik itu terulur, Yasa bisa melihat lebam di pergelangan tangan Salsa.
"Terima kasih sudah datang, Mas," sapanya.
"Apa kamu baik-baik saja?" Yasa tahu pertanyaan itu tak tepat jika dilontarkan sekarang. Anehnya, ia merasa perlu bertanya demikian saat di depan Yasa perempuan itu berusaha menutupi lebam di pergelangan tangan.
Salsa menatap suaminya sesaat. Melalui tatapan itu seolah ada sesuatu yang sedang mereka bicarakan. Namun, Salsa memilih membalas pertanyaan Yasa dengan gelengan dan senyum simpul.
Kenapa menggeleng? Apa maksudnya itu?
"Eyang menunggumu," pungkas Salsa seraya menunjuk Eyang di ambang pintu dengan dagunya.
Yasa menghela napas dan memilih berlalu meski hatinya berkecamuk. Ada sejuta tanya. Kepergian Yasa setelah keputusan Salsa menerima lamaran Zuhri membuat sosoknya menjadi wanita asing. Seperti bukan Salsa yang dulu. Keceriaan Salsa tak tampak dari binar matanya. Namun, apa hak Yasa turut campur? Bukankah mereka telah memilih untuk menentukan jalan masing-masing dan membunuh impian mereka sebelumnya?
***
Lita terdiam di depan sebuah toko alat tulis. Matanya terus tertuju pada buku harian bersampul biru. Memang tak sama dengan miliknya yang bermotif bunga aster dan telah hilang entah ke mana, tapi setidaknya masih sama-sama biru, warna kesukaan Lita.
Lita melihat jam tangan di pergelangan tangan kiri. Ia ingin masuk dan membeli buku itu, tapi takut Yasa datang dan tak melihatnya. Mereka sudah janjian bertemu sore ini. Sebenarnya bukan untuk liputan. Yasa mengajak Lita menemani ke rumah temannya yang ingin membuat foto katalog produk fashion. Tentu saja cewek itu tak mau membuang kesempatan. Ia suka belajar fotografi bersama Yasa. Laki-laki itu teramat telaten mengajarinya.
"Mau beli?"
"Eh?" Suara Yasa yang baru datang membuat Lita menghentikan aksi mupeng menatap etalase toko. Ia belum sempat menjawab, tetapi laki-laki itu mendahuluinya masuk dan membawa buku diari warna biru itu ke kasir. Lita membuntuti. "Eh, jangan! Biar aku saja yang bayar," sergah Lita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lalita's Diary
Roman d'amour(Sudah tamat dan part masih lengkap). Lalita Paramita, gadis berusia 20 tahun yang sedang kabur ke Jakarta demi menghindar dari kekangan sang mama. Ia mau seperti Papa, tapi Mama mau putrinya mengikuti apa kata mamanya. Hingga ia dipertemukan dengan...