Bagian 27

4.3K 930 42
                                    

Suasana halaman Prita's Kafe semakin temaran. Lampu hias berwarna kuning yang melilit beberapa batang pohon di halaman mulai menyala mengingat senja hampir berganti malam. Dua kaleng Cola dingin tergeletak di meja di mana lelaki itu masih duduk berpangku tangan di teras kafe.

Wanita bergaun putih di seberang mejanya tampak gelisah memainkan buku jari di atas pangkuan dengan kepala tertunduk malu.

"Aku suka Kak Yasa sejak awal pertemuan di acara seminar Tante Tera," ungkapnya pelan. Semu merah di kedua pipi wanita itu semakin kentara.

Yasa mengembuskan napas pelan seraya membuka kaleng softdrink. Sepuluh bulan berlalu. Entah ini wanita keberapa yang datang menemuinya dan menyatakan perasaan. Mungkin kedelapan, sembilan, atau malah kesepuluh.

"Maaf, aku sedang sibuk dan belum ada rencana apa pun untuk menjalin hubungan khusus. Tapi kita masih bisa berteman."

Wanita di depan Yasa itu semkin tertunduk dalam. Agaknya penolakan halus tersebut mungkin membuatnya malu dan terluka.

"Iya, aku mengerti, Kak. Maaf, ya ...."

Yasa tersenyum tipis dan mengangguk. Wanita itu langsung bangkit dan berlalu meninggalkan kafe. Yasa mengusap wajah pelan sembari menghirup oksigen banyak-banyak. Ia lelah dan hilang arah.

"Lagi?"

Suara pria dengan apron hitam yang sedang bersandar di sisi pintu masuk itu membuat Yasa melenguh sebal. Sebentar lagi pasti Bian akan berceramah panjang lebar.

"Kalau enggak cinta masa mau diterima," sahut Yasa lesu.

Bian duduk di kursi sembari meraih kaleng minuman bersoda yang masih utuh. "Sepuluh bulan berlalu, masih kurang cukupkah untuk membuka lembaran baru?"

Yasa tak mau dengar. Ia hanya melanjutkan menikmati Cola yang tersisa.

"Memangnya enggak capek begini terus? Siapa yang tahu Lita udah berubah? Realistis! Dia udah menyudahi, menutup kisah masa lalunya."

"Enggak. Aku mengenalnya dengan baik, Bi. Sangat ...," pungkas Yasa. Ia merogoh dompet di saku celana kiri, mengeluarkan beberapa lembar uang untuk membayar minuman yang telah dihabiskan. "Aku pulang."

Bian mengangguk, membiarkan sahabatnya pergi dengan keputusan yang selalu sama. Suami Prita itu menghela napas panjang sambil memasukkan uang ke dalam saku apron yang dikenakan. Namun, matanya tertuju pada gulungan kertas tepat di samping kaki kursi Yasa duduk.

Bian meraih dan membuka gulungan kertas. Sebuah gelengan tak habis pikir membuat lelaki beristri itu membuang napas kasar. Lagi-lagi tiket kereta Jakarta-Jogja dan Jogja-Jakarta tertanggal kemarin.

***

Gadis berjaket parka warna krem itu keluar rumah melalui jajaran bangku di halaman. Pukul delapan malam beberapa pengunjung kafe tampak datang dan pergi. Tak seramai pada hari biasanya. Ia memilih duduk di kursi tepat dekat trotoar dengan membawa satu cup mi seduh instan.

Makhluk berbulu putih berpadu hitam itu mengeong dan mengelus kaki berbalut celana panjang.

"Eh, hilang lagi?" Lita menggendong kucing jalanan berkalung merah muda dan meletakkannya di bangku panjang tempat ia duduk. "Masa tiap akhir bulan aku harus mengganti loncengmu yang hilang. Kamu kemanakan, hem?"

Lita merogoh saku jaket parkanya. Ia selalu sedia lonceng pengganti sebab kehilangan lonceng pada kalung kucing yang sering menyambangi rumahnya terjadi berkala dan rutin tiap akhir bulan. "Nah, kamu tampan kalau pakai ini. Sebentar, aku punya sesuatu untukmu."

Kali ini gadis berwajah tirus itu mengeluarkan sepotong sosis siap makan lalu membuka bungkus dan mematahkannya menjadi dua. "Makanlah! Aku akan bercerita lagi tentang pria itu."

Lalita's DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang