Epilog

8.6K 1.1K 109
                                        

Angin semilir sesekali menyibak rambut keduanya. Mereka duduk dengan kaki terayun seraya memandang ke lembah. Di belakang mereka tampak kerangka daun pintu terbuka. Saat melewati kerangka pintu itu dan memandang lembah dari tempat Yasa dan Lita berada seolah-olah hendak memasuki kawasan langit.

Pintu Dahromo, Bantul, Yogyakarta, menjadi pilihan Lita saat Yasa mengajaknya jalan-jalan. Sejak Yasa suka menunjukkan tempat-tempat yang bisa membuat mata memandang lepas ke lembah dengan lampu kelap-kelip seperti di Bandung dan Paris, tempat-tempat seperti itu menjadi destinasi favoritnya untuk membuang penat.

"Serasa sedang ada di atas langit," gumam Lita sembari mengencangkan jaket lalu merapikan poninya ke samping. "Iya, kan?" Kali ini perempuan itu menoleh ke arah Yasa yang sama menatap ke lembah.

Yasa tersenyum dan mengangguk. Lelahnya hilang entah ke mana meski pagi tadi ia baru saja mendarat dari pesawat setelah terbang lebih dari 15 jam. Lusa wanita kurus di sisinya wisuda, ia rela pulang ke tanah air.

"Sudah ada persiapan untuk wisuda?" Yasa membuka suara setelah mereka terdiam cukup lama.

"Sudah. Pakaian untukmu juga sudah," sahutnya antusias." Ia kembali menoleh dan tersenyum.

Yasa mengulurkan tangan, mengusap kepala perempuan berambut hitam legam dengan lembut. "Terima kasih."

Saat itu, keduanya seperti kembali merasakan suatu hal yang pernah mereka rasakan beberapa tahun lalu. Saat iris mata saling bertemu, semua terasa hening, dan ada gejolak yang seolah membuat keduanya ingin mendekat.

Lita buru-buru memutus pandangan dan berdeham. "Jangan menatapku begitu. Aku jadi ingat yang bukan-bukan, tahu?"

Yasa mengedik. "Tatapan yang bagaimana?"

"Seperti ...," ungkap Lita, "berkilat-kilat dan membuat wanita jadi ... tak berdaya." Ia mengibaskan kedua tangan dan tertawa kecil.

"Seperti ... di Pantai Anyer beberapa  tahun lalu?" Yasa memperjelas.

Lita menutup wajah begitu  rasa panas menjalar ke pipi. "Aku khilaf ...," erangnya.

"Yang begini ini bikin lupa diri." Yasa meraih telapak tangan yang menutupi wajah itu. Menangkup kedua pipi hangat Lita yang masih memejamkan mata dan tersenyum.

Mulanya Lita tak yakin untuk membuka mata. Takut membuat lelaki berhidung mancung itu kecewa saat tiba-tiba gangguan cemas dan bayangan mengerikan masa lalu hadir pada waktu yang tak tepat. Bisa saja ia mendadak gemetaran lalu menjaga jarak dari Yasa.

Namun, ketakutan itu tak mungkin sirna bila Lita hanya pasrah dan tak mau melawannya. Hingga perlahan Lita mulai memberanikan diri membuka mata, menatap kilatan di iris mata Yasa yang dulu selalu membuatnya terpana, nyaman, dan terpesona, sampai lupa diri.

Semua yang dirasakan keduanya bak adegan slow motion. Seisi dunia mendadak hening. Yasa ragu melakukan pergerakan apa pun sampai akhirnya keraguan itu lebur ketika Lita memilih kembali menutup mata.

Tidak. Ketakutan itu tak kembali datang saat jarak antara bibir keduanya hilang. Sentuhan dari Yasa tidak memaksa, tidak pula menuntut. Mimpi buruk dari masa lalu seolah hilang ditelan bumi. Bersama Yasa, Lita merasa damai. Ia seperti jatuh ke dalam lembah yang dipenuhi kupu-kupu. Semua terasa menyenangkan, membuat jantung berdebar-debar, darah berdesir, dan Lita tak ingin mengakhirinya.

"Astaga ... mau begini aja harus nunggu tiga puluh hari nikahan," gumam Yasa sembari melekatkan kening ke bahu Lita.

Lita terkekeh. "Terima kasih sudah bersabar menungguku," bisiknya lalu sebelah tangan wanita dalam pelukan Yasa itu menepuk-nepuk pelan punggung suaminya.

"Sama-sama. Ngomong-ngomong, apa rencanamu setelah lulus kuliah nanti?"

"Aku ... mau resign dari kantor Tante Daniela. Boleh?" Lita menyandarkan kepala di bahu Yasa.

"Kenapa? Enggak suka kerja di kantor media cetak lagi?"

"Seperti yang pernah aku bilang saat di Puncak dulu. Aku mau mengikuti ke mana pun suamiku pergi. Keliling dunia sekalipun!" tegasnya.

"Asal jangan ngikutin aku kalau mau mandi aja, Lit."

Wanita di sisi Yasa itu tertawa kecil. "Lebay!"

Keduanya kembali terdiam, menikmati keheningan malam yang mulai mendingin.

"Yasa ...."

"Hm?"

"Jangan berikan tatapan yang seperti tadi pada perempuan lain."

"Yang mana?"

"Yang berkilat-kilat itu!"

Tawa Yasa pecah. Berkilat-kilat katanya? Lita memang cewek aneh. Aneh sejak pertama kali Yasa mengenalnya. Namun, ia suka Lalita yang begitu. Yasa Sagara suka keanehan, kecerobohan, dan keceriaan Lalita Paramita.

***

Pertama kali publish: 22-01-2021
Republish: 11-03-2025


=====🌼🌼🌼=====

Yang manis, yang manis, yang manis!

😂😂😂

Habis ini kalian mau aku lanjut cerita yang mana? Mas Akbar, Mas Bara, Mas Rendra, atau Mas Rengga? 🤣
Saking banyaknya naskah mangkrak di akun Wattpad-ku, ya. 😂

Jamgan lupa vote, ya. Terima kasih atas dukungannya.

Selamat berpuasa untuk yang menjalankan ibadah puasa. 🥰🫰

Lalita's DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang