Bagian 16

4.1K 992 46
                                    

Jam makan siang baru saja tiba. Gadis yang tengah menggenggam dompet itu tampak ragu. Sebelumnya ia tak pernah mengajak siapa pun makan siang bersama pada jam istirahat. Namun, mengingat tekadnya memulai jalinan pertemanan, keraguan itu hilang.

Sekembalinya Nia dari toilet, Lita berdiri dan meraih lengan perempuan berambut sebahu itu.

"Nia, makan siang bareng mau enggak?"

Mata dengan aksen eyeliner meruncing di sudut luar kelopak mengerjap.

"Aku traktir," sambung Lita lagi. Namun, melihat Nia masih terpaku gadis itu menggigit bibir. "Enggak mau, ya?"

Nia balas memegang lengan gadis yang sekarang tampak murung. "Ih, aku belum juga jawab! Maulah! Aku yang pilih tempat makannya, ya?"

Binar ceria di wajah Lita muncul. Ia mengangguk antusias dan bergegas menyeret Nia keluar kantor.

"Bentar, ambil tas dulu."

"Makan di mana?"

"Ada kafe baru dekat-dekat sini aja. Enggak jauh-jauh amat."

Keduanya berjalan beriringan. Dada Lita menghangat. Perkara ada teman makan siang bersama saja membuatnya selega ini. Ia tak akan kesepian lagi meski tak ada Yasa. Ada Nia yang menemani. Eh, Yasa apa kabar, ya?

***

Dari sekian banyak kafe, kenapa Nia memilih kafe ini? Lita memotong chicken steak perlahan  menyuapkan sedikit ke dalam mulut. Kunyahannya pelan dan terkadang ia menyelipkan garpu lebih lama seraya menatap ke luar halaman kafe, tapi ujung matanya terus mengawasi empat orang yang tengah ngobrol santai.

Apa iya, Yasa akan balikan sama mantan kekasihnya?

Lita tak tahan untuk tidak mengamatinya lebih saksama. Salsa terlihat mengenakan dress selutut berwarna merah. Wanita itu sudah kembali ramping, sepertinya pendarahan waktu itu membuat Salsa kehilangan calon bayi.

Sementara wanita bercelemek cokelat tua di sebelah Salsa itu tampak gencar melemparkan candaan. Lita tebak orang itu pemilik kafe ini sebab tadi wanta itu yang duduk di meja kasir lalu sesekali mendampingi pelanggan yang datang untuk memilihkan menu andalan.

"Nia, tukar tempat duduk, ya?" lirih Lita sembari membungkukkan badan. Konsentrasi makan gadis itu buyar kalau harus mengamati Yasa terus. Menurut Lita, posisi duduk Nia lebih nyaman sebab membelakangi mereka berempat.

"Kenapa? Diliatin Yasa, ya?" Nia sama berbisik dan membungkuk.

Tadi Yasa sempat menyapa sejenak dan mengajak duduk bersama. Namun, Lita tak enak hati dan takut hanya jadi patung karena tidak nyambung.

"Enggak, sih ...."

"Bukannya cewek yang duduk di depan Yasa itu mantannya, ya?" Nia memulai obrolan masih dengan suara berbisik.

"Kok, kamu tahu?" Lita semakin membungkuk dan semakin memelankan suara.

"Haish, gosip hot zaman dulu itu, sih! Mereka batal tunangan karena calon mertuanya marah sama orang tua Yasa." Nia menusuk kentang goreng sedikit geram.

Kening Lita berkerut. "Marah? Kenapa?"

Nia mengedikkan bahu. "Dengar-dengar, sih, Pak Samudra menolak menerima suap atas rencana pemuatan berita bohong di media Samudra Pers. Ck, biasalah, urusan politik mah berat."

"Memang bisa, ya, bayar ke kantor media buat muat berita bohong? Itu kan melanggar kode etik." Lita kembali mengunyah pelan makanan di mulut.

"Ah, kamu ini polos banget jadi orang! Bisa kalau redakturnya mau! Tapi kan Pak Samudra orang yang lurus, mana mungkin mau."

Lalita's DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang