Bagian 1

9.4K 1.4K 88
                                    

Lalita terengah ketika ia terbangun dari tidurnya. Mimpi apa itu? Sudah tiga malam--setelah kejadian dirinya selamat dari tenggelam saat meliput bangkai kapal yang terbakar--gadis yang mengenakan pakaian rumah sakit itu memimpikan hal yang sama. Tenggelam, laki-laki tak dikenal yang menarik ke permukaan, dan ... menciumnya? Ah, bukan! CPR!

Lalita menggeleng kuat. Namun, lelaki itu hanya menyentuhkan bibirnya saka lalu Lalita tersadar dan terbangun dari mimpi. Ia mengembuskan napas panjang. Perlahan gadis dengan jarum infus di punggung tangan kiri itu duduk.

"Oh, sudah bangun? Setelah cairan infus habis kamu bisa keluar dari sini dan besok Papa antar ke Jogja. Papa juga akan menuntut kantor media cetak tempatmu bekerja karena mempekerjakan wartawan baru tanpa pelatihan dan jaminan keselamatan."

Pria berkacamata yang baru saja masuk itu berbicara tanpa jeda. Ia sibuk menata barang-barang ke dalam tas. Sementara Lalita mengerjap tak percaya dengan apa yang dikatakan sang papa.

"Papa enggak suka Lita tinggal di rumah Papa?" tudingnya dengan nada ketus.

Kedua bahu Juan--papa Lita--terkulai seiring embusan napas lelahnya. Ia menghentikan aktivitas mebereskan pakaian dan mendekat ke arah putrinya yang masih berwajah sedikit pucat.

"Please, kamu enggak mau, kan, lihat Papa sama Mama bertengkar terus?"

"Kalau begitu berhenti bertengkar. Biarkan Lita memilih jalan hidup sendiri. Lita udah dewasa, Pa," pinta Lita. Ia menyisir rambut panjangnya ke belakang dengan jemari.

Juan menghela napas. Laki-laki berkemeja biru muda itu duduk di tepi ranjang pasien. "Karena kamu udah dewasa, harusnya bisa mengambil keputusan lebih bijak."

Anak gadisnya hanya melirik tak suka. "Tapi aku capek ngikutin Mama, Pa."

"Bersabar sedikit lagi. Selesaikan kuliahmu dahulu. Setelah dapat ijazah, Papa akan berusaha membujuk Mama dan ...."

"Papa enggak ngerti gima--"

"Ngerti," potong Juan, "sangat ngerti gimana mama kamu."

"Kalau gitu, please, biarin Lita ikut Papa sampai Lita punya uang sendiri buat biayain hidup mandiri." Lalita memohon seraya menyentuh lengan kiri papanya. Kedua manik hitam itu mengembun.

"Kamu enggak sayang sama Mama?" Juan menoleh, menatap sendu pada putrinya yang sejak menginjak usia remaja harus dihadapkan pada perpisahan kedua orang tau.

Lita menunduk. Bagaimana bisa ia tidak sayang. Mama adalah wanita yang melahirkannya. Hanya saja watak keras kepala dan cara mengatur hidup Lita membuatnya tak tahan.

"Mama cuma punya kamu, Lita." Juan mengusap puncak kepala gadis yang tengah tertunduk dalam.

***

Bukan tanpa alasan Lita memilih kabur dari rumah dan nekat mencari papanya. Sebagai anak, ia pun ingin didengar suaranya. Bahkan hingga usia 20 tahun mamanya masih suka mencampuri pilihan Lita. Termasuk soal pakaian dan penampilan. Mama bilang, calon model profesional harus selalu tampil fashionable. Lita bahkan kerap diajak ikut kursus modeling dan mengikuti kontes bermacam-macam talenta di dunia hiburan. Sayangnya, jiwa Lita tak ada di sana. Ia lebih suka berkelana mencari hal baru dan menulis.

Namun, Papa benar. Mama tak punya siapa-siapa selain dirinya.

18 November 2018

"Dewasa tak dapat ditakar dengan umur. Mendewasa berarti harus sanggup bersikap bijak dalam menghadapi masalah."

Papa benar. Aku harus kembali menemui Mama dan berusaha lebih keras meyakinkannya kembali.

Lalita's DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang