"Boleh, Pa?" Gadis berjaket hodie itu memainkan telunjuknya di depan dada.
Juan hanya mengembuskan napas pelan seraya menuangkan krimer dalam cokelat panas. "Memangnya mau ke mana sama Tante Daniela?"
"Ke rumah temannya. Di sana banyak kegiatan asyik katanya."
Lelaki paruh baya dengan apron cokelat bergambar cangkir kopi itu menyangga kedua siku di atas meja bar. Ia mengangguk-angguk. "Asal jangan terlalu larut malam pulangnya."
Lita tersenyum dan bersorak pelan, "Yeee ...!" Ia bergegas menyandang ransel di bahu dan pergi begitu saja menuju halaman.
"Tumben percaya sama Danieal." Lianti tampak mencibir seraya meletakkan nampan di meja.
"Hmm, aku cuma enggak suka aja sama kebiasaan minum-minumnya. Capek tahu jemput kamu yang mabuk bareng dia."
Perempuan berlipstik merah itu memeluk pinggang suaminya. "Itu dulu. Sekarang udah enggak, kan?"
Juan melirik wanita di sisi sambil bergumam tak jelas. Lianti memang banyak berubah semenjak memutuskan fokus mengurus rumah tangga. Belum lagi menjaga putri mereka yang hampir selama empat bulan mengalami depresi berat. Setiap malam bermimpi buruk, mandi sehari bisa sampai lima kali, dan menjauh dari aktivitas sosial.
Gadis itu kerap menolak diajak ke psikiater. Ia mudah tersinggung saat sang mama menyebut kata psikiater. Menurutnya, ia tidak gila dan tak perlu menemui psikiater.
Depresi itu berangsur-angsur menghilang saat Daniela menawarkan diri selalu datang ke kafe Juan dan Lianti. Wanita berpenampilan nyentrik itu kerap membuat acara kecil-kecilan, mengajak Lita berbagi makanan dengan anak yatim piatu, belajar fotografi, dan memberi makan kucing-kucing jalanan yang kerap lewat.
"Memang Daniela mau ngajakin ke mana?" Juan kembali membuka obrolan usai Lianti mengantar minuman pesanan pelanggan di meja nomor lima.
"Ke rumah Nayla, Mas." Lianti mengembalikan nampan ke rak gerabah. "Teman Daniela. Katanya dia punya komunitas khusus perempuan. Dia ... sama kayak Lita."
Juan batal menyesap cokelat dari cangkir di tangan kanan.
"Semoga Lita bisa bangkit seperti Nayla." Lianti tersenyum sembari menepuk bahu Juan dan bersandar padanya.
***
Halaman di belakang rumah yang Lita kunjungi tampak luas. Beberapa macam bunga tumbuh subur dan berwarna-warni. Kolam di pojok taman terlihat jernih dengan beberapa ikan koi berenang ke sana kemari.
Ada sekitar sepuluh orang di halaman itu yang sedang asyik berkebun. Menyiram tanaman, mencampur tanah dengan pupuk, dan memangkas dedaunan yang mulai layu.
Wanita berambut hitam pekat hampir mencapai pinggang itu berjongkok, memberi arahan tengang bagaimana mencampur tanah dan pupuk. Wajahnya tampak cerah dan tenang. Lita menaksir umur wanita itu sekitar 30-an.
Wanita bernama Nayla itu mendekat, mengulurkan gembor penyiram bunga. "Ini mengasyikkan. Cobalah!"
Lita yang semula duduk sendirian di dekat kolam ragu meraih benda itu. Namun, sangat tidak sopan menolak permintan tuan rumah yang berniat baik.
"Aku suka aster. Bunga ini bisa tumbuh di mana pun. Warnanya juga banyak. Cantik, bukan?" Nayla mulai mengajak bicara.
Lita menyiram perlahan jajaran bunga aster dalam pot. Titik-titik air bekas siraman di dedaunan tertimpa sinar mentari, membuatnya berkilau bak berlian yang berjatuhan. "Aku juga suka aster," gumam Lita.
Pikiran Lita menerawang pada buku diari kesayangannya yang hilang entah ke mana. Ia masih ingat, dalam buku itu tertulis perihal mimpi sosok lelaki penolongnya. Mimpi itu indah meski kerap membuat Lita resah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lalita's Diary
عاطفية(Sudah tamat dan part masih lengkap). Lalita Paramita, gadis berusia 20 tahun yang sedang kabur ke Jakarta demi menghindar dari kekangan sang mama. Ia mau seperti Papa, tapi Mama mau putrinya mengikuti apa kata mamanya. Hingga ia dipertemukan dengan...