Zuhri meneguk kelas minuman keemasan yang kedua kalinya. Beberapa kali wanita dengan pakaian minim mendekat padanya. Namun, laki-laki itu merasa suasana hati sedang tidak asyik untuk diajak bersenang-senang. Ia meremas gelas di atas meja bar. Yasa memang sialan.
Sejak kecil ia tak suka dengan sikap kalem Yasa. Cucu dari tetangga dekat rumahnya itu kelewat sering dapat pujian dari kedua orang tua Zuhri saat masa liburan Yasa singgah di rumah Oma Meilan.
"Yasa tuh, udah rajin, sopan, enggak pernah bikin masalah di sekolah!"
Slentingan dari mamanya itu cukup membuat Zuhri berjanji untuk berusaha bersaing dengan Yasa. Ia ingin apa yang dimiliki Yasa juga dimilikinya termasuk semua pujian orang-orang.
Sayangnya, beranjak dewasa dan ketika Zuhri berhasil mengambil alih Salsa, wanita itu tak mau memberikan hatinya. Ia kerap panas hati saat tanpa sengaja bibir tipis Salsa mengucap nama Yasa.
Tepukan di bahu kanan membuat Zuhri menoleh. Rudi yang baru datang melambaikan tangan pada seorang bartender di balik meja bar. Lelaki tua berkepala botak dengan bekas luka itu menghela napas panjang.
"Gimana, Om? Udah puas?" Zuhri tersenyum miring setengah mengejek.
"Sialan. Hari berikutnya aku kena tampar emaknya," celetuk Rudi sembari menunjuk pipi kirinya.
Zuhri tertawa lepas. "Enggak usah ngarep sama Lita lagi, deh. Saingan Om berat!" Ia menekan kata berat, membuat kedua alis Rudi terangkat.
"Saingan Om lebih banyak duit?"
Lelaki berkemeja kotak-kotak itu mengibaskan tangan ke udara. "Cewek model Lita bukan tipe doyan duit, Om. Dia doyan cowok yang mainnya kalem. Enggak kayak Om yang suka main sruduk!" Zuhri terkekeh-kekeh lalu meneguk gelas kedua sampai tandas. Ia belum terlalu mabuk, tapi sudah ingin pulang.
Pikiran Zuhri sedang kacau sebab layangan gugatan cerai dari Salsa siang tadi. Namun, ia juga sedang tak ingin mabuk sampai tak sanggup pulang.
"Eh, mau ke mana? Belum juga bersenang-senang malam ini." Rudi menarik lengan jaketnya.
"Ck, lagi males, Om. Besok lagi, ya?"
Rudi bergeleng, sambil tertawa kecil ia menepuk-nepuk pundak rekan kerjanya sebelum pulang. "Diceraiin bini aja lemes!" cibirnya.
Zuhri hanya mengedik dan tersenyum samar. Ia berlalu ke luar bar dan memilih mencari ketenangan lain. Namun, sebelum keluar ia sempat berbalik dan berkata pada Rudi, "Om, boleh enggak aku coba deketin Lalita? Kali aja dia mau aku bujuk."
Rudi berdecak dan membalasnya dengan mengedik tak acuh. Sepertinya lelaki itu sudah cukup kapok mendapat timpukan vas bunga dan cidera pada tungkai kakinya.
***
Lita baru saja turun dari angkutan umum. Ia mendesah lelah. Tiga hari ia berhasil menghindari Yasa dengan alasan ingin belajar liputan mandiri. Semua yang dirasakan gadis itu mulai tak benar. Bayangan wanita cantik berambut cokelat dan berhidung mancung itu selalu membuat Lita merasa bersalah kalau kedekatannya bersama Yasa terus terjalin.
Ia harus belajar tanpa Yasa. Yasa mempunyai kehidupan pribadi yang tak boleh terganggu karena Lita sering merepotkannya. Sudah cukup. Cemburu ini rasanya cukup memberikan batasan bahawa Lita perlu menjaga jarak agar perasaan aneh lain tak bercokol di hatinya.
Nyatanya, liputan tanpa pemandu itu membuat pikiran dan tenaga terkuras habis. Salah sedikit Cipto membabat habis. Nia ngomel tujuh turunan karena kerja Lita yang lambat membuat artikel lambat dimuat hanya karena menunggu hasil liputannya yang tak beres-beres.
Sembari berjalan menyusuri jalan kompleks menuju rumah, Lita menjepit rambut ke atas. Ia memijit pelan tengkuk yang serasa kaku karena seharian di depan komputer. Getar ponsel di saku kemeja membuat langkahnya terhenti. Ia menilik sebentar notif pesan WhatsApp yang masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lalita's Diary
Romance(Sudah tamat dan part masih lengkap). Lalita Paramita, gadis berusia 20 tahun yang sedang kabur ke Jakarta demi menghindar dari kekangan sang mama. Ia mau seperti Papa, tapi Mama mau putrinya mengikuti apa kata mamanya. Hingga ia dipertemukan dengan...