Bagian 4

5.8K 1.1K 73
                                    

Lita turun dari bus sembari menghela napas panjang dan mengembuskannya pelan. Setelah beristirahat sebentar usai menghabiskan beberapa potong pizza, ia memutuskan untuk pulang ke rumah Papa. Tidak mungkin juga ia tinggal di apartemen .... Astaga, siapa namanya?

"Aish, aku belum tahu nama orang itu!" Lita menjejak-jejak aspal seraya memukul kepala beberapa kali karena merasa bodoh.

Ini memalukan sekali. Laki-laki itu sudah baik padanya, tapi Lita sendiri tak tahu siapa namanya. Oh Tuhan, bunuh saja diri ini, sesalnya dalam batin. Esok ia harus berkunjung ke apartemennya lagi untuk berterima kasih. Itu harus. Lagi pula baju ini, Lita mencium aroma kaus yang dikenakan. Ah, tak ada aroma lemon dan mint. Ini baju mamanya. Lesung di kedua pipi gadis berplesters di pelipis itu mengembamg. Mamanya pasti mendidiknya dengan baik sampai ia jadi sosok yang begitu lembut, baik, dan ... perhatian pada keselamatan perempuan.

Lita jadi iri. Pasti menyenangkan punya mama yang lurus dan penyayang. Tidak seperti Mama yang setiap hari hanya marah-marah sama Papa dan menyerahkan semua urusan anak pada ART di rumah. Mengingat hal itu membuat Lita tertunduk sambil berjalan menatap sneakers-nya yang berdebu.

Langkahnya terhenti di depan pagar rumah. Papa tampak sedang berbicara melalui ponsel seraya berjalan mondar-mandir di teras rumah.

"Tolong jangan membuat anakmu sendiri tidak nyaman di rumah, Li. Aku ...." Obrolan itu terhenti ketika mata Papa menemukan Lita yang sudah berdiri di depan pagar. Tanpa berpikir banyak, laki-laki itu menutup sambungan ponsel dan berlari ke arahnya. "Ya Tuhan, ke mana saja kamu?"

Lita hanya memperlihatkan deretan giginya yang putih. Ia menelengkan kepala ke kiri saat Papa menyentuh plester di pelipis.

"Ini kenapa?"

"Jatuh," sahutnya singkat seraya mendahului Papa masuk ke rumah demi menghindar dari cecaran pertanyaan lain.

"Eh, Papa belum selesai ngomong."

Lita terpaksa berhenti di depan anak tangga dan duduk di sana sambil memeluk lutut. Ia menoleh ke kanan saat Papa juga turut duduk di sisinya.

"Lita enggak mau pulang ke rumah Mama lagi. Titik."

Keduanya bertatapan beberapa saat. Tak ada yang bisa menggoyahkan keputusan Lita yang sekarang. Genangan itu tampak memenuhi pelupuk gadis berusia 20 tahun itu, membuat laki-laki yang sedang dilanda cemas di sisinya terdiam dan tak mampu membuat keputusan.

***

Yasa tampak asyik bergelung di atas sofa. Saluran televisi yang memutar tayangan serba-serbi Hutan Amazon membuatnya berceletuk, "Kayaknya asyik jadi fotografer di alam liar."

Wanita yang sedang mengeluarkan sekotak roti isi di meja berdecak pelan. Tera paham, setiap anak sulungnya sedang berpendapat demikian, tandanya di otak Yasa akan ada rencana untuk melakukannya. "Kamu udah makan? Gimana liputan siang tadi?"

Yasa menoleh sejenak dan beralih meraih ponsel di meja. "Udah," sahutnya. Ia mendesah mengingat tak total meliput sebab fokusnya terpecah.

"Oh ya, tadi Eyang telepon Mama, katanya minggu depan mau ngajakin kamu ke acara empat bulanannya Salsa. Mau ikut?"

Gerakan jari di atas papan ketik gawai itu terhenti. Perkataan mamanya barusan membuat pikirannya kembali sedikit terganggu. Yasa hanya melirik Tera tanpa jawaban kemudian kembali sibuk dengan ponsel.

"Ma, bra di gantungan kamar mandi itu punya Mama? Kok tumben ...."

Mendengar sang papa yang sedang mengeringkan rambut dengan handuk berkata demikian, Yasa sontak melempar ponsel ke sisi sofa dan berlari secepat kilat menuju kamar mandi dan menyingkirkan benda itu ke keranjang cucian. Astaga, dasar cewek aneh!

Lalita's DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang