Bagian 7

5.4K 1K 34
                                    

Temaram lampu tidur tak kunjung membuat penghuni kamar di lantai dua itu terpejam. Pikirannya masih berputar-putar pada laki-laki yang menggapainya dari dalam air. Yasa tak memberikan jawaban. Mungkin saja memang bukan dirinya, tapi kenapa Lita begitu yakin sosok itu adalah Yasa?

Lita memiringkan tubuh ke kanan, menatap meja di pojok ruangan. Ia batal menaikkan selimut hingga leher saat teringat buku diari pemberian Yasa. Mungkin menulis sesuatu di sana bisa membuatnya lebih lega dan tidur tenang nanti.

Gadis itu meraih bandana putih di nakas dan mengenakannya demi menyugar poni ke belakang. Ia merogoh tas selempang, mengeluatkan kotak pensil. Dalam kotak pensil itu terdapat beraneka warna bolpoin. Ada sekian banyak warna dan entah kenapa Lita lebih suka memilih warna merah untuk menuliskan nama Yasa di sana. Namun, usai menuliskan nama itu, tak ada kata yang sanggup ditulis.

Lita tersenyum dan menutup buku hariannya. Ia menopang dagu sembari menggerak-gerakkan pena di tangan kanan. Ah, sepertinya malam ini akan sulit memejamkan mata!

***

Entah sudah berapa kali Yasa mengembuskan napas di sela-sela aktivitasnya mengedit beberapa foto. Anehnya, bukan foto katalog yang menjadi penarik hatinya saat itu, melainkan foto gadis yang sesekali Yasa ambil diam-diam ketika Lita sibuk menjadi asistennya sore tadi. Wajah gadis itu benar-benar polos dan ... mengesalkan bila teringat berbagai kecerobohannya.

"Eh, model baru, Yas?"

Suara itu membuat lelaki yang sedari tadi sibuk mengulum senyum terperanjat. "Astaga, kebiasaan! Ketuk pintu kek!" Yasa melempar remasan kertas ke arah perempuan berpiama biru yang kini duduk di tepi ranjangnya seraya memeluk guling.

Padma--adiknya--suka sekali mengagetkan saat Yasa melamun. Adik perempuannya itu sedang libur akhir semester. Ia menuruni bakat memasak sang papa, untuk itu Padma lebih memilih kursus masak di Australia. Perempuan itu terkekeh saat berhasil menghindar dari lemparan remasan kertas kakaknya. Kalau bukan karena gadis ini, Yasa lebih suka pulang ke apartemen. Mama suka melihat anak-anaknya berkumpul di rumah saat Padma pulang.

"Tadi aku ketemu Kak Salsa pas belanja keperluan dapur sama Mama." Padma berbaring tengkurap, menanti kakaknya menyahut.

"Terus?"

"Aku lihat ada luka di keningnya, tapi dia buru-buru rapiin poni. Kan jadi ragu itu luka apa bukan."

Jemari Yasa yang bergerak di atas tetikus terhenti. Luka? Ada apa sebenarnya? Apa iya wanita itu terlalu lalai sampai sering jatuh dan banyak meninggalkan luka? Setahunya, Salsa buka wanita seceroboh Lita yang berkali-kali hampir membahayakan diri sendiri.

"Lagian kalau aku lihat-lihat, Mas Zuhri itu tatapannya serem ya enggak sih, Yas?" Padma mengedikkan bahu ngeri.

"Masa, sih?" Yasa kembali berpura-pura sibuk dengan pekerjaannya.

"Eh, enggak cuma aku yang bilang gitu. Mama juga bilang gitu kok," tegas Padma. Kali ini ia bangkit lalu berdiri di sisi Yasa seraya menunduk mengamati foto pada layar laptop. "Mm, meski cewek ini sederhana dari segi berdandannya, aku yakin dia cantik. Siapa namanya?" Padma mengibaskan rambut sebawah bahunya ke belakang. Sebelah tangannya berkacak di pinggan dengan bibir mengerut, matanya menggambarkan kecurigaan.

Yasa yang merasa dicurigai mendesah dan menoleh sebentar. "Lalita, anaknya Om Juan."

Mata Padma memelotot. "Hah? Om Juan mantan suami Tante Lianti?"

Yasa mengangguk mantap. Yasa pun baru tahu tadi setelah mengantar Lita pulang karena merasa bertanggung jawab dengan kondisi gadis itu basah kuyup.

"Beda banget sama emaknya. Ini kelihatan kalem dan lugu banget. Enggak kayak Tante Lianti yang ...."

"Eh, ngegosip mulu nih mulut. Tidur sana," titah Yasa sembari menjejalkan macaroon mini ke mulutnya.

Lalita's DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang