Bagian 19

4.8K 1K 76
                                        

Yasa sudah berjanji akan mentraktir Lita minum Cola. Meski ia tahu gadis itu tak akan mempermasalahkan kapan akan menunaikan janjinya, sepertinya malam ini mengajaknya makan malam tak masalah. Pemuda yang sedang membelokkan setir mobil memasuki gapura kompleks perumahan itu bisa saja membuat alasan merayakan berita yang mereka liput terbit di halaman pertama.

Kabar anehnya, gara-gara peristiwa di acara makan malam kantor Papa, Yasa seperti merasa perlu menemui Lita. Seharian tak berkomunikasi seperti ada yang membuat Yasa tak keruan, gelisah, resah, malas beraktivitas, melamun, dan selalu terbayang bagaimana gadis itu bisa membuat nyaman berada di dekatnya. Pemuda itu pun heran, mengapa dirinya jadi tak sanggup mengendalikan diri begini.

Yasa sampai depan rumah rekan kerja papanya ketika Juan sudah hendak beranjak dari acara minum kopi di teras.

"Eh, Yasa? Tumben ke sini enggak ngabarin dulu. Ada titipan dari Papa?" Juan menghampiri ke arah pintu pagar dan membukanya.

"Enggak. Mau ketemu Lita aja. Ada perlu." Yasa berdeham seraya memperhatikan jendela kamar lantai dua sekilas.

"Belum pulang, sebentar lagi kayaknya. Duduk dulu." Juan berjalan ke teras diiringi Yasa yang mengekor. "Makasih, ya. Maaf juga Lita sering ngrepotin. Dia memang enggak biasa apa-apa sendiri. Manja," sambung Juan sambil menekan kata manja.

Yasa tertegun sejenak. Gadis itu luar biasa. Setahu Yasa begitu. Lita bisa tiba-tiba jadi kuat saat orang-orang di sisinya sedang bersedih dan punya segudang masalah. Lelaki berkemeja kotak-kotak merah itu menyadarinya saat di rumah sakit mengantar Salsa, Lita sama sekali tak mengeluh meski ia pun sebenarnya sedang butuh pertolongan dan sandaran.

Gadis itu terlalu baik sampai bisa merasakan kesedihan orang-orang di sisinya meski ia sendiri belum bisa mengatasi kesedihannya sendiri. Yasa merasakan kepeduliannya saat pelukan di perpustakaan kantor Papa.

"Enggak, kok, dia anak yang baik." Yasa tersenyum tipis.

"Begitu, ya? Aku bahkan selalu merasa gagal mendidiknya menjadi wanita dewasa." Juan mendesah lelah.

Mereka duduk di teras menunggu Lita pulang. Mbok Yus sempat menyuguhkan teh hangat hingga gadis yang ditunggu pulang dengan buah tangan berisi kue. Yasa bisa tahu dari mana kue itu berasal melalui nama Prita yang tercantum di bungkusnya.

Gadis itu menatap bingung. Yasa tahu ini aneh sebab sebelumnya ia tak pernah datang kalau tak ada urusan penting.

"Ada tugas liputan?" tanyanya.

"Lah, kalian berdua ini kenapa, sih? Kenapa saling tatap aneh begitu?" Juan memutus keheranan lalu pamit masuk ke rumah setelah meraih kotak kue dari uluran tangan Lita.

"Aku mau ngajak kamu makan-makan," tutur Yasa ketika gadis itu duduk di sebelahnya dan memeluk ransel di pangkuan.

Lita tampak bersandar malas ke kursi dengan tubuh merosot lesu. "Tadi aku diajak makan sama Mbak Salsa," terangnya tanpa menjawab ajakan Yasa.

"Makan?" Yasa menghadapkan tubuh pada gadis di sisinya dengan kedua alis bertaut.

"Iya ...." Lita menyahut usai mengembuskan napas pelan lalu menatap Yasa intens. "Dia nyesel pisah sama kamu, Yas. Dia mau minta maaf."

Yasa menghela napas bersamaan dengan dirinya ikut bersandar malas ke kursi. "Udah aku maafin, kok. Toh dia udah punya kehidupan sendiri."

"Dia mau cerai, Yas. Lagian wanita mana yang kuat punya suami model kayak Zuhri." Menyebut nama suami Salsa membuat Lita terdiam lalu berkata, "Ah, kenapa aku nyebut namanya, sih?! Enggak sudi, ih!" Lita mengusap pipinya kasar.

Yasa meraih tangan Lita. "Kebiasaan, entar lecet."

"Ah, enggak tahulah! Hari ini aku bingung sendiri enggak tahu kenapa." Lita menimpakan ransel ke atas wajahnya.

Lalita's DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang