Bagian 17

4.3K 1K 87
                                    

Lita mengangkat kertas berukuran A3 bertuliskan "Papa Juan Selamat Kembali Pulang". Siapa pun yang melihat di bandara ini pasti terlihat berlebihan, tapi gadis berjaket jumper--dengan model penutup kepala berhias telinga kucing--tak peduli. Ia hanya terkikik geli sang papa yang tengah menyeret koper mendekat padanya.

"Haish, lebay banget anak satu ini, ih!" Juan menarik kertas dari depan dada Lita melipatnya jadi beberapa bagian.

"Ini kan sambutan istimewa," ucapnya ringan lalu memeluk Juan yang sudah merentangkan kedua tangan.

"Maaf, ya, kamu pasti kesepian di rumah."

Lita mendongak dan mengacungkan dua jari. "Enggak, kok, sibuk kerja."

"Kerja apa pacaran?" Tatapan Juan penuh selidik.

Lita melepaskan pelukan. "Kerja, Pa. Lagian cowok seideal Yasa mana mau, sih, sama anak bau kencur yang cerobohnya ngalah-ngalahin manusia purba." Ia memainkan ujung telunjuk di depan dada.

Juan tertawa seraya merangkul bahu putrinya. Andai Lita tahu siapa yang memintanya pulang lebih awal begini.

"Mama apa kabar?" Juan menatap sekilas pada putrinya yang tengah memesan taksi online.

Lita mencibir, "Pura-pura tanya. Padahal Mama pasti udah berusaha hubungin Papa ratusan kali. Berita klasik, sih."

Juan terkekeh. Lita benar. Terakhir kali Lianti meneleponnya sambil terisak-isak menyesali perbuatannya terhadap Lita. Wanita berusaha minta maaf, tapi Lita mengabaikannya. Juan menghela napas panjang. Sampai kapan rumah tangganya akan sepert ini terus?

"Papa mau makan apa malam ini? Lita mau pesan makan buat entar malam." Lita membuka pintu taksi yang baru datang.

"Enggak usah. Nanti malam ada acara makan-makan di kantor. Mau ikut?"

"Wah, boleh!" Gadis yang baru saja akan memasang earphone di telinga kiri bertepuk gembira.

Setiap ada wartawan yang pulang dengan selamat dari daerah konflik, istri Sam selalu membuat acara makan malam bersama di kantor. Kali ini, Juan tak ingin berangkat sendirian. Ia mau Lita menemaninya sebagai pengganti Lianti.

***

Setelan rok tutu dan blouse dengan cape di bahu membuat tampilan Lita lebih manis dari biasanya. Ia juga memoles lipstik bergaya ombre dengan warna merah di bibir bagain dalam. Gadis itu tampak asyik mencicipi puding di meja prasmanan bagian makanan penutup. Makanan di sini enak-enak dan kalau Lita tahu seenak ini, ia mau saja menemani Papa setiap ada acara.

"Hai, Tuan Putri tanpa alas kaki."

Sapaan itu membuat Lita spontan menoleh ke belakang. "Eh, Yasa?" Ia menatap sosok jangkung dengan setelan jas dan celana jins senada.

Gadis itu lalu memeriksa kakinya sendiri. Ia merasa sudah memakai heels lima senti. "Aku pakai alas kaki, kok."

Yasa menahan tawa kecilnya. "Enggak ingat? Kamu yang berlarian menabrakku di pusat keramaian sambil nenteng sepatu?"

Lita menepuk keningnya. "Astaga, iya!"

Yasa terkekeh pelan sembari mengambil satu cup puding.

"Maaf, ya, waktu itu aku belum begitu mengenalmu. Malu juga mau menyapa." Lita meringis. "Eh, baru datang?" Ia mengalihkan pembicaraan.

"Iya, tadi jemput Padma dulu."

Kenapa Lita jadi pening mendengar nama itu? Padahal kemarin waktu melihat Salsa bersama Yasa tak begini. Apa iya karena Padma jauh lebih berpeluang menjadi pilihan Yasa?

***

Yasa masih menahan tawa geli seraya melirik gadis di sisinya. Jadi karena Padma, Lita menghindarinya? Ya Tuhan, gadis ini polos sekali. Suka menerka, tapi malu bertanya.

Lalita's DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang