Bagian 15

4.4K 986 66
                                    

Yasa terpaksa menghubungi papa Lita melalui KBRI di Pakistan. Bagaimanapun gadis yang tengah tercenung menatap jalanan dari kaca jendela mobil itu butuh keluarganya. Atas permohonan Yasa pada redaktur Samudra Pers, Juan akan segera dipulangkan.

"Kamu mau makan apa malam ini?" Yasa membuyarkan lamunan gadis di sisinya.

Lita hanya menggeleng. Gadis dengan jaket denim itu akhir-akhir ini jadi sering murung dan pendiam. Namun, ia hampir tidak pernah berkeluh kesah pada Yasa. Sepertinya Lita mulai membentengi diri sejak beberapa hari lalu sebelum tragedi dipepet Zuhri. Cewek berambut tergerai itu menghindarinya.

Niatan Yasa mempertanyakan itu semua hilang saat Lita histeris malam itu.

"Kamu ... menghindariku?" Pertanyaan Yasa itu sontak membuat cewek itu berjengit terkejut.

"Aku ... tidak," sangkalnya. "Hanya tak ingin merepotkanmu saja." Kali ini ia tertunduk sembari memainkan buku-buku jarinya.

Justru karena tak ingin direpotkan itu malah membuat Yasa uring-uringan selama beberapa hari. Ia tak tenang setiap Lita liputan sendirian. Bukan tanpa alasan, tapi sudah sering kejadian saat bekerja sendiri malah terjerat masalah karena ceroboh. Alasan lain yang membuat Yasa uring-uringan adalah ... sepertinya ia merindukan Lita.

"Kita mau ke mana?" Lita mengalihkan pembicaraan, membuat Yasa mendesah pasrah.

"Ke suatu tempat supaya kamu enggak stres lagi."

Yasa menambah kecepatan begitu macet yang mengular berhasil dilalui. Kawasan Puncak mulai terasa saat jalana mulai naik turun dan hawa dingin di luar mulai terasa.

***

Hari semakin senja. Lita duduk bersila menghadap lembah di kawasan Bukit Moko Bandung. Lampu-lampu di perkotakan terlihat menyala bak bintang berkelap-kelip.

"Waw, ini seperti di Bukit Bintang Jogja," ucapnya takjub dengan suara lirih.

Yasa tersenyum sebelum menyesap kopi dari cangkir. Warung Daweung ini sudah lama hits dengan panorama Kota Bandung yang tampak dari bukit. Semilir angin menerpa pelan, membuat anak rambut gadis yang berusia 4 tahun lebih muda dari Yasa itu bergerak menyapu wajah. Udara dingin berkabut membuat keduanya memasukkan kembali tangan ke saku jaket.

"Kamu kangen pulang ke Jogja?" Yasa memenggal ketakjuban Lita.

Gadis itu tersenyum dan mengangguk seraya menyelipkan rambut ke belakang telinga. "Aku selalu merindukan kota kelahiranku saat keluargaku masih utuh." Kali ini Lita tersenyum miris.

"Kenapa mereka bercerai?"

Lita mengembuskan napas panjang. "Mama terlalu takut kehilangan Papa. Dia tak kuat menahan diri saat Papa jauh darinya." Ia menjeda kalimatnya sejenak dan lagi-lagi mengembuskan napas lelah. "Dan aku ... enggak bisa maksa mereka tetap bersama kalau setiap hari ada saja pertengkaran, kan?"

Yasa menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Matanya menatap ke arah cahaya berkelap-kelip di lembah sana. "Kalau kamu dalam posisi mamamu, apa kamu juga akan menuntut suamimu untuk melepas pekerjaannya?"

Lita menoleh sebentar dan tertawa kecil. "Tidak akan, tapi aku akan mengikutinya ke mana pun dia pergi. Aneh, ya?"

Yasa ikut tertawa. "Pasti repot kalau begitu. Mau mandi aja susah," candanya.

"Bukan pekerjaannya yang membuatku takut, tapi jarak. Mau bahaya seperti apa pun, mau pasukan militer menodong senapa di kepala pun, asal masih di dekatnya aku tak masalah."

Keduanya bertatapan sekilas lalu saling melempar senyum.

"Berlebihan, ya?" tanya Lita.

"Enggak. Siapa saja yang jadi suamimu kelak pasti beruntung." Yasa berdeham sebelum kembali mengambil cangkir kopi hitamnya.

Lalita's DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang