Yasa tergesa turun dari mobil tepat di depan sebuah kafe. Ponsel di tangan kanannya masih menyala. Ia melarang gadis yang tengah sesenggukan itu menutup panggilan.
"Kamu di mana?" Yasa berjalan memasuki kafe. Matanya menelisik ke seluruh ruangan bergaya retro yang tak cukup luas.
"Toilet dekat tempat parkir. Cepetan ke sininya." Lalu isakan itu terdengar lagi.
Sungguh, mendengar Lita menangis sesenggukan seperti itu membuat Yasa ingin membanting ponsel karena kesal. Kesal karena terlalu lama tak bisa segera menemukan gadis malang itu dan emosi karena suara tangis itu kadang membuat suaranya tak jelas, semakin membuat Yasa ingin segera menghilang dalam sekejap mata untuk menemukan Lita.
Ia pun berlarian kembali ke tempat parkir dan mencari toilet. Tempat itu berada di pojok halaman parkir. Sepi. Tak ada siapa pun di sana. Namun, suara tangis samar-samar terdengar dari pintu ketiga dari sebelah kiri yang tertutup.
Yasa kembali menempelkan ponsel ke telinga. "Aku udah di depan toilet. Buruan keluar. Jangan nangis terus."
"Malu ...."
Pemuda itu mendesah pasrah. Semoga tak ada orang yang menyangkanya akan berbuat mesum di toilet umum perempuan malam-malam begini. Ia melangkahkan kaki lebar-lebar lalu mengetuk pelan pintu berwarna cokelat tua itu. Tepat setelah ketukan ketiga, Lita membuka pintu. Beruntungnya Yasa masih sanggup menopang tubuh langsing yang tiba-tiba saja menubruk dan memeluk erat.
Khawatir ada orang lewat, Yasa berjalan mundur membawa Lita keluar dari area toilet.
"Kamu ini kenapa?" Yasa berusaha melepas rangkula erat dua tangan di pinggangnya.
Namun, Lita menolak dan memilih semakin menyurukkan wajah di dada lelaki berkemeja putih yang ia peluk. "Jangan lihat! Aku malu!" Ia menggeleng-geleng di sela isak tangis.
"Gimana aku mau nolongin kalau enggak tahu keadaan kamu? Lepas dulu ini." Yasa membujuk sembari melepas pelukan erat Lita.
Letupan di dada pemuda itu membuncah, rahangnya mengeras seketika Lita melepas rangkulan. Gadis itu sedang tidak baik-baik saja, bahkan lebih parah dari bayangan Yasa sebelumnya. Lebam membiru di pipi kiri dan bercak darah di sudut bibir membuat emosinya mau meledak.
Sebelum ada banyak orang yang menyaksikan kekacauan gadis itu, Yasa memilih merapatkan kemeja bagian atas Lita dan memapahnya menuju mobil. Ia tak ingin bicara apa pun sekarang. Yang ia tahu, cewek berantakan ini harus segera dibawa sembunyi dahulu untuk menenangkan diri.
Yasa membukakan pintu mobil di sisi kiri. Setelah Lita benar-benar duduk, ia membuka dashboard. Seingatnya Oma Meilan sering menyimpan peniti di dashboard mobilnya kalau Yasa pergi menemaninya ke mana pun yang Oma inginkan. Sayangnya, tangan Lita terlalu gemetar dan tampaknya ia malah semakin frustrasi ketika Yasa memintanya memasang sendiri pada lubang kancing baju yang terlepas. Gadis itu pun kembali tersedu.
Yasa mengembuskan napas pelan lalu meraih peniti dari jemari dingin Lita. Ia menusukkan ujung jarum ke kemeja agar kembali tertutup sejadinya.
"Aku antar pulang, ya?" Yasa menggenggam erat telapak tangan yang masih gemetar dan sedingin es.
Lita menggeleng. "Mama mabuk ...."
"Mama yang mukulin kamu?"
Mata Lita memejam dan menggeleng. "Rudi ...."
Ingatan Yasa terbawa pada kejadian saat Lita menubruknya di mal dan berlarian sambil memeluk alas kaki sewaktu di Jogja. "Baiklah, kita obati lukamu dulu. Akan aku pikirkan nanti kamu bermalam di mana malam ini."
Yasa menutup pintu mobil. Ia mengusap wajah sembari menghela napas panjang. Barangkali dengan menarik napas panjang itu Yasa jadi sedikit lebih tenang. Namun, terbawa emosi dan mendesak Lita menunjukkan siapa pelakunya bukan hal yang baik malam ini. Gadis itu hanya butuh ditemani untuk menenangkan diri dahulu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lalita's Diary
RomantizmLalita Paramita, gadis berusia 20 tahun yang sedang kabur ke Jakarta demi menghindar dari kekangan sang mama. Ia mau seperti Papa, tapi Mama mau putrinya mengikuti apa kata mamanya. Hingga ia dipertemukan dengan Yasa, sang wartawan foto yang sempat...