Gadis berjaket hitam itu terus berjalan ke depan, mengamati jajaran pedagang souvenir di sepanjang Malioboro. Yasa masih asyik mengikuti langkah perlahannya. Sesekali berhenti sedikit jauh ketika Lita melihat-lihat jajaran perhiasan atau pernak-pernik lain yang mungkin menarik.
Waktu masih menunjukkan pukul 10 pagi dan Yasa masih enggan kalau harus menunggu di bandara sampai jam keberangkatan pesawatnya tiba. Ia memilih meninggalkan kopernya sebentar di hotel, menyambangi makhluk berbulu hitam dan putih kesayangan Lita lalu mengikuti gadis itu berjalan-jalan di akhir pekan.
Sayangnya, firasat Yasa mengenai Lalita selalu tepat. Ia memang tak bisa jalan sendiri tanpa buntut perkara yang akan timbul. Gadis berambut lurus sebawah bahu itu menjatuhkan lonceng yang semula dipegang. Benda kecil itu menggelinding ke bawah meja penjual lain.
Sebelum masalah datang berurutan, Yasa mendekat. Lita tampak membungkuk lalu berjongkok. Ia memasukkan kepala ke kolong meja, meraih lonceng dengan mengulurkan tangan lebih jauh. Bertepatan saat gadis itu memundurkan badan demi keluar dari bawah meja, telapak tangan Yasa melekat di sisi meja.
"Aduh ...." Lita memejam. Merasa tak ada bagian kepala yang terasa perih atau panas karena benjol, gadis itu membuka sebelah mata. "Eh?"
Yasa menarik kembali tangan kanan yang semula menempel di kepala cewek ceroboh yang masih saja berjongkok. Iris mata keduanya bertemu. Namun, Yasa memilih cepat berlalu sebelum Lita memaksa melepas masker yang menutup sebagian wajahnya.
"Yasa?"
Lita memanggil, membuat langkah pemuda berjaket cokelat itu memberat. Akan tetapi, ia harus memaksakan diri agar tak menoleh.
"Bukan, ya?" Lita tertunduk.
***
Aroma lemon itu menguar saat pria bermanik hitam itu berada di dekatnya. Lita tak mungkin salah kira dengan wangi parfum yang sangat ia kenal. Kegembiraannya hampir membuncah ketika Lita memanggil nama itu. Namun, harapannya pupus.
Lagi pula untuk apa Yasa ada di Jogja? Mereka sudah berpisah dan Lita sendiri yang memintanya pergi. Perasaan tak keruan yang muncul membuat Lita membuang pandangan ke arah jalan raya. Ia menghapus titik bening di sudut mata sebelum terurai membasahi pipi.
"Maaf ya, Mas," ucapnya sembari mengembalikan lonceng ke tempatnya lalu buru-buru meninggalkan si pedagang yang mulai bingung.
***
Mbok Yus mulai terbiasa belanja sendiri ke pasar dekat kompleks. Wanita berambut kelabu dan pakaian kebaya motif gumpalan awan itu menenteng belanjaan di tangan kanan. Ia menyusuri trotoar hendak kembali ke rumah tuannya sebelum jam makan siang tiba. Bayangan gadis itu lahap makan nanti siang membuat garis senyum di wajah Mbok Yus semakin kentara.
"Mbok Yus!" Sapaan seseorang di bangku pinggir jalan itu menghentikan langkah pemilik nama itu.
Mata Mbok Yus menyipit. Namun, saat sosok di depannya menurunkan masker hitam di wajah, ia membelalak kaget. "Mas Yasa?"
Yasa tersenyum simpul dan mengangguk.
***
Segelas jus mangga di hadapan wanita tua itu hampir habis. Rupanya berjalan kaki membawa belanjaan membuat Mbok Yus cukup punya alasan untuk kehausan.
"Mas Yasa apa kabar?" Perempuan itu bertanya usai mengelap mulut dengan sapu tangannya.
"Baik, Mbok. Mbok Yus betah di Jogja?" Yasa melipat kedua tangan di atas meja.
"Alhamdulillah, ke mana Tuan Juan pergi selalu betah kalau ikut. Ngomong-ngomong, ayo mampir! Non Lita pasti seneng lihat Mas Yasa datang." Mbok Yus menepuk lengan kiri Yasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lalita's Diary
Roman d'amour(Sudah tamat dan part masih lengkap). Lalita Paramita, gadis berusia 20 tahun yang sedang kabur ke Jakarta demi menghindar dari kekangan sang mama. Ia mau seperti Papa, tapi Mama mau putrinya mengikuti apa kata mamanya. Hingga ia dipertemukan dengan...