Bagian 5

6K 1.1K 68
                                    

Lita meraba-raba saku depan tas selempang berbahan denim miliknya. Kosong. Ia yakin selalu rutin mengembalikan buku diari ke saku tas kesayangan. Kenapa sekarang tak ada? Apa jatuh saat liputan demo siang tadi. Lita mengacak rambut. Padahal ada banyak hal yang ingin diceritakan ke buku itu. Tentang kesialannya dikejar-kejar si buncit Rudi, tentang kekesalannya pada Mama, dan pertemuannya dengan dewa penolongnya hari ini. Tentang laki-laki bermata elang yang bersikap lembut, menghormati perempuan, dan beraroma lemon serta minta yang membuat Lita mabuk kepayang.

Lita tersenyum seraya meletakkan kepala di atas meja. Ujung telunjuk kanannya membuat gerakan melingkar pada jaket hitam di sisi meja sebelah kiri. Aih, siapa namanya? Sungguh malam ini akan jadi malam panjang yang penuh dengan rasa penasaran.

"Non, keranjang pakaian kotor Simbok ambil, ya? Mau dimasukkan ke mesin cuci." Suara Mbok Yus terdengar di depan pintu kamar Lita yang terbuka sepagi ini.

Lita mengangguk dan tersenyum menyapa wanita berusia 60 tahun itu. Wanita tua itu adalah ART kepercayaan keluarga Papa. Meski Eyang sudah meninggal, ia masih setia bekerja di rumah meski hanya tinggal Papa seorang. Sementara 2 kakak laki-laki Papa sudah berumah tangga sendiri dan berpencar. Yang Lita tahu mereka tak tinggal di Jakarta dan hanya berkumpul pada saat-saat tertentu saja.

"Di gantungan kamar mandi masih ada, Non, pakaian kotornya?" Mbok Yus bertanya sambil mengangkat keranjang ke depan pintu.

Lita menimbang-nimbang lalu mengangguk sambil terkekeh. "Kayaknya masih deh, Mbok, ambil aja."

"Dih, udah segede ini pakaian dalam aja enggak bisa ngurus sendiri!" Kali ini suara Juan menginterupsi Lita yang terkekeh-kekeh.

Laki-laki itu tengah membawa secangkir teh dan koran hendak menuju balkon.

"Papa kerja hari ini?" Lita berjalan membuntuti ke arah balkon sembari sesekali menekuk lengan kaus pendeknya ke bahu.

"Hm, jam 9 ini ada liputan bareng atasan Papa. Kamu enggak apa sama Mbok Yus aja di rumah."

Lita meraih cangkir teh yang sisa setengah. Kelakuannya memang tak sopan, tapi Juan tak pernah merasa keberatan berbagi dengan putrinya. "Papa jangan marah, ya. Aku kerja lagi di kantor media Pak Cipto. Lita janji kalau kerja selalu minta prosedur keselamatan."

Juan mengembuskan napas panjang. "Ada baiknya kamu selesaiin kuliah dulu. Jadi wartawan bukan tempat main-main yang asyik kalau kamu enggak berwawasan luas dan berpendidikan tinggi."

Lita memutar bola matanya malas. "Tapi skill bisa diperoleh melalui latihan, kan, Pa? Wawasan bisa diperluas dengan banyak baca."

Lagi-lagi Juan mengembuskan napas. Berdebat dengan putrinya memang bukan perkara mudah. Keras kepalanya hampir mirip-mirip dengan mamanya. "Janji selalu mengutamakan keselamatan?"

Dengan bersungguh-sungguh gadis bercelana pendek itu mengangkat kelingkingnya. "Janji!"

Juan tersenyum simpul dan menautkan kelingking mereka.

"Jaket sekalian dicuci ya, Non?" Mbok Yus yang sudah berada di ambang pintu kamar Lita merangsekkan jaket ke dalam keranjang.

"Eh, bentar, Mbok." Lita berlarian masuk ke kamar, membuka saku tas selempang utama dan mengeluarkan pakaian kotor. Namun, ia mulai panik saat disadari ada satu benda keramat miliknya tak ditemukan di dalam tas. Astaga, jatuh ke mana? Ah, jangan-jangan jatuh tertinggal di apartemen si cowok beraroma lemon! Lita menggigit bibir. Pipinya memerah. Ah, memalukan sekali!

***

"Pak Cipto bilang, dia lagi cari kontributor tetap untuk  setiap artikel di koran Minggu pagi." Nia berceloteh di sisi Lita.

Lalita's DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang