Bagian 10

4.7K 976 33
                                    

"Mm, bagaimana kalau kita menikah saja?"

Pertanyaan itu hampir terputar di otak Yasa sebanyak ... ratusan kali mungkin. Ia menarik selimut hingga leher seraya meringkuk ke arah kiri. Jam digital di nakas menunjukkan pukul 3 dini hari dan mata belum sama sekali ada kemauan untuk terpejam.

Lita sudah diantar pulang sejak pukul 12 malam ke rumahnya. Bagaimanapun, Yasa teramat menghargai perempuan dengan tidak sembarangan mengizinkannya bermalam. Bisa dipenggal sama Mama nanti, batin Yasa sambil mendesah dan menelentangkan tubuh menatap langit-langit kamar.

Sesungguhnya bukan perkara yang perlu dipikirkan perihal ajakan menikah dari Lita. Yasa paham bahwa gadis itu sedang emosi dan merasa butuh bantuan untuk melindungi diri. Namun, mengapa ajakan itu sangat mengganggu alam kewarasannya sampai tak bisa tidur begini?

Ah, sudahlah! Lita pasti tidak akan membahasnya lagi besok.

***

Lita mengutuk pria yang baru saja menimpakan tugas dadakannya akhir pekan ini. Pak Cipto benar-benar menyebalkan. Namun, sebagai unjuk diri dan alasan profesional sebagai wartawan, gadis yang sedang berlarian usai turun dari halte bus itu menerima tugas liputan di Gelora Bung Karno. Sialnya, ia bangun kesiangan sebab semalam terngiang kegilaannya melamar laki-laki beraroma lemon dan mint itu.

Ah, bagaimana harus bersikap nanti di depan Yasa? Apa pura-pura linglung saja? Pura-pura amnesia?

Lita mengumpat sambil mempercepat lari menuju area kantor. Rambutnya terurai berantakan, keringat di pelipis membanjir. Percuma saja mandi sebab ia bergerak serba kilat dan membuatnya kembali berkeringat begini.

Tepat di depan pintu kaca, Lita berhenti sejenak untuk mengatur napas sambil berpegangan pada lutut. Begitu perasaan relaks mulai terasa, ia menegakkan tubuh, merogoh saku celana jins-nya. Tadi Lita sempat menyambar ikat rambut sebab tak mungkin sempat menata bandana atau sekadar menyisir. Setelah mengikat surai hitam legamnya, Lita membuka pintu kaca kantor.

Baru lima langkah, ia sudah melihat pria berkemeja merah motif kotak-kotak yang sudah duduk tenang di kursi kerja Lita. Ah, harus bagaimana ini? Apa kabur saja? Lita ragu untuk mendekat. Sepertinya Yasa belum menyadari kehadiran Lita. Ia masih sibuk mengetik sesuatu di atas layar ponsel.

Tidak! Malu sekali kalau sampai berhadapan lagi dengannya! Lita mundur dan bergegas ingin mendorong pintu kaca dan keluar. Ia berniat liputan sendiri saja.

"Eh, Lita?! Mau ke mana lagi?!"

Lita menggeram dalam hati. Nia yang baru saja keluar dari ruang Pak Cipto melihatnya. Bertepatan dengan Lita yang kembali berbalik arah dan menatap ke depan, Yasa sudah sama menatapnya. Ya Tuhan, rasanya mau pingsan saja! Lita membatin.

***

"Mana Lita?" Perempuan yang menyandang handbag di lengan kiri itu menerobos masuk melewati ruang makan.

Juan meletakkan cangkir kopi di meja, urung menyesap minuman hitam pekat itu begitu tahu mantan istrinya datang.

"Lita! Turun sini!"

"Apaan, sih, Li? Dia udah berangkat kerja." Juan menatap heran pada Lianti yang tengah berdiri di sisi anak tangga.

"Hari Minggu gini kerja? Liputan ke mana?" tanyanya dengan mata memicing tak suka.

"GBK katanya. Ada pertandingan sepak bo—"

"Hah? Kamu biarin dia berangkat liputan macam itu?" Lianti kontan mendekat dan duduk di kursi kosong ruang makan.

Juan bergeming sejenak. Ia tahu bukan hal aman bagi putrinya untuk melakukan liputan olahraga. Berita terbunuhnya suporter pertandingam karena ulah anarkis pecinta club bola bukan lagi hal mengejutkan. Bahkan wartawan pun kerap jadi amukan mereka dan menerima tindak kekerasan. Namun, saat tahu Lita pergi bersama Yasa, rasanya ia jauh lebih tenang meski kemungkinan mereka berdua masih ada peluang kena amuk massa kalau terjadi kerusuhan.

Lalita's DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang