Bagian 8

4.8K 1K 50
                                    

Lita tampak gelisah menatap sosok di depan mejanya. Lelaki itu sedang membaca artikel yang entah sudah keberapa dibuat. Lita sendiri semalam baru terlelap pukul 3 dini hari dan terbangun dengan kondisi leher pegal-pegal. Bagaimana tidak pegal jika ia tertidur dalam keadaan duduk dan kepala merebah di meja.

Yasa menghela napas panjang sebelum ia membuka tutup bolpoin warna merah lalu menyilang beberapa paragraf pada lembaran kertas. Hal itu membuat wajah Lita berkerut dengan bahu terkulai pasrah. Selalu saja begini, tapi setidaknya cara Yasa lebih halus daripada Cipto si pemimpin redaksi yang asal lempar ke meja Lita saat artikelnya tak menarik.

"Seandainya kamu sering mendengar cerita kalau di apartemenku itu berhantu, ada penunggu di kamar mandi, wujudnya bapak-bapak tak berwajah, apa kamu masih berani menginjakkan kaki ke apartemenku?"

Tengkuk Lita mendadak meremang. Ia mengusap tengkuk di balik rambut sebawah bahu yang kali ini dibiarkan tergerai berhias bandana biru. "Tentu saja tidak. Mana ada orang yang mau datang ke tempat angker begitu," sahut Lita berapi-api.

"Nah, itu tahu!" Yasa mengetuk kertas di atas meja dengan bolpoin. "Artikel yang kamu buat itu bertujuan membuka pikiran publik, Lita, bukan malah menakut-nakuti begini dengan menceritakan hantu penunggu di Jembatan Kota Intan. Buka pikiran mereka kalau tempat bersejarah itu selalu ada hal menarik di balik misteri-misteri yang belum jelas."

Lita meringis seraya menggeser gelas berisi milk tea rasa cokelat di sisi kanan. "Benar juga, ya," jedanya sebelum membasahi kerongkongan dengan minuman dingin.

Mereka lebih memilih duduk di area halaman belakang kantor untuk membicarakan artikel buatan Lita. Keduanya duduk di sebuah gazebo ditemani 2 gelas es yang Yasa beli sebelum sampai di kantor media tempat gadis penyuka warna biru itu bekerja.

"Eh, jam berapa sekarang? Aku harus pergi mengurus perpanjangan visa hari ini." Yasa menilik jam digital di pergelangan tangan kiri.

"Memangnya mau ke mana?" tanya Lita tanpa melepas sedotan dari cepitan sela giginya.

"Liputan ke luar negeri bareng teman wartawan di kantor Papa, tapi bulan depan."

Otak cewek di sebelah Yasa itu mendadak linglung. Ada rasa tak siap bila laki-laki beraroma lemon dan mint ini pergi jauh darinya. "Terus, kamu enggak mau jadi kontributor di sini lagi? Aku enggak perlu training lagi?"

Ah, sebenarnya bukan itu yang ingin Lita katakan. Ia ingin sekali bilang, jangan pergi, aku tak sanggup bekerja sendirian tanpamu. Bagaimana jika tenggelam? Bagaimana jika terjebak di situasi demo yang tiba-tiba berubah anarkis? Siapa yang akan membantunya menyelamatkan dari semburan amarah Cipto? Namun, apa haknya menahan Yasa?

"Memangnya kamu mau jadi buntut terus? Kapan bisanya kalau harus mengikutiku terus?" Yasa tersenyum simpul. Ia menukar gelas es Lita yang setengah tandas dengan gelasnya yang masih utuh.

"Aku belum begitu mahir liputan sendirian," aku Lita dengan suara makin merendah pada kata sendirian.

"Tidak ada wartawan yang langsung mahir, semua butuh proses." Lelaki berkaus raglan abu-abu lengan tiga perempat itu bangkit. "Aku duluan, ya. Jangan lupa segera selesaikan artikelnya. Kirim e-mail, nanti aku koreksi lagi." Yasa berjalan mundur seraya melambaikan gelas es berbahan plastik di tangan kanan sebelum ia meminumnya sambil jalan.

Lita tak menyahut. Tatapannya kosong ke arah artikel yang penuh coretan merah. Merasa frustrasi melihat koreksian dan mendengar kabar Yasa akan pergi jauh, ia melenguh sebal. Diraihnya minuman dan meneguk sedikit. Eh, rasa vanila enak juga! Katanya dalam hati sambil mengecap-ngecapkan lidah. Tak ada yang aneh. Lita kembali menghabiskan minuman. Namun, tiba-tiba bayangan Yasa yang melambaikan gelas es tadi terlintas.

Lalita's DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang