Bagian 22

4.2K 941 54
                                    

Lita melongokkan kepala ke ruang tamu. Aman. Sepertinya Papa masih tidur di kamar. Kelelahan mungkin karena semalam Papa juga liputan di tempat yang sama bersama Lita dan Yasa. Merasa rumah masih sepi, Lita masuk ke rumah tanpa menimbulkan suara dengan berjinjit.

"Ehem!"

Suara dehaman di ruang tengah membuat putri semata wayang Juan itu terlonjak. "Papa, ih! Kaget tahu!" pekik Lita gusar.

Papa membenarkan posisi kacamata lalu bersidekap. "Dari mana sepagi ini?"

Deretan gigi putih Lita terlihat saat ia hanya nyengir dan tersenyum kaku, gelisah. Gadis dengan rambut tergerai sebawah bahu itu menggaruk tengkuk yang tak gatal. "Enggak dari mana-mana, Pa. Dari ... depan doang ... di halaman."

"Pagi-pagi buta gini?"

Lita mengangguk cepat.

"Ngapain?"

Kali ini Lita mengedarkan pandangan, belingsatan tak keruan. Masa iya mau bilang jujur, Habis pelukan sama Yasa, Papa!

Papa mengedikkan kedua alis, menatap penuh tanya, membuat Lita semakin bingung mau menjawab apa. Ah, sudahlah, Papa pasti sudah melihat!

"Lain kali kalau ada teman cowok datang dan ada Papa di rumah, panggil Papa dulu."

Lita mengerjap. "Kalau enggak ada Papa boleh ke rumah tanpa kasih tahu dong?"

Papa memelotot, menunjukkan reaksi kesal, tapi tak lantas mempersalahkan. "Kamu sama Yasa ada hubungan spesial?"

Lita tertegun sejenak. Astaga, kalau dipertanyaan soal status itu membuat gadis itu pusing! Ia meremas rambut frustrasi. "Ah, Papa tanya itu aku jadi pusing. Enggak tahulah!"

"Eh, mau ke mana?" Papa berteriak dari lantai bawah.

"Tidur! Ngantuk banget belum tidur semalaman!" sahut Lita. Ia mengangkat dua jari ke udara sebagai tanda berdamai tanpa menoleh.

"Have a nice dream, ya!"

Lita menggeleng tak habis pikir dengan ucapan itu dan tersenyum seraya menutup pintu kamar. Papa hampir tak pernah marah. Lelaki yang sangat mencintai Mama itu selalu berpikir terbuka saat putrinya berani mengambil sikap. Ia juga tidak pernah memaksa Lita untuk menceritakan semua privasinya selama putrinya belum mau. Semua sikap Papa itu membuat Lita lebih percaya bahwa Papa adalah teman baik meski jarang punya waktu untuk putrinya.

***

Mbok Yus terampil menyajikan sepiring nasi goreng ayam di meja makan. Secangkir kopi hitam sudah tandas diminum Juan sembari membaca koran.

"Mbok, selama saya enggak di rumah ada kejadian apa?" Juan meletakkan sendok, batal menyuap nasi dengan potongan ayam.

Mbok Yus membuang napas panjang seraya mengelap piring dan sendok. "Banyak, Tuan. Tapi paling bikin Simbok bingung waktu Non Lita pulang nangis-nangis kayak orang kesetanan itu. Untung Mas Yasa datang."

Juan mengangguk paham. Yasa sudah menceritakan semuanya melalui telepon. Lianti sendiri merasa bersalah ketika tahu Lita pulang dalam keadaan babak belur. Namun, perkara ini tentu sulit ia pertanyakan bila Lita sendiri memilih bungkam dan enggan membahasnya lagi. Mungkin trauma, mungkin menganggap itu aib besar yang akan mempermalukan dirinya bila banyak yang tahu.

"Tiap kali Nyonya ke sini berantem terus sama Non Lita. Kan, Simbok jadi kasihan. Mau ngikut ngomongin juga takut salah. Ya ... Mas Yasa itu yang suka bilangin. Pas nangis-nangis itu juga ditungguin sampai tidur baru berani pulang." Mbok Yus masih bercerita sembari menyelesaikan pekerjaannya. Sesekali meletakkan piring dan gelas kotor ke wastafel, berjalan ke sana kemari mengurus rumah.

Lalita's DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang