Tepat di depan kedai yang sepi, dingin, dengan beberapa pot dijajar dengan kawat tua di langit-langit. Aku yakin, salah satunya baru saja jatuh dan pecah di atas kepalaku, darah keluar dari sela rambut gelapku, seluruh tubuhku bergetar, dan mata biru itu menyala di bawah tetesan darah.
Rasa sakit dan keterkejutan itu membuatku sejenak tak bergerak. Darah dan air hujan menggenang di bawah sepatuku. Bau aneh ini membawaku pada ingatan tentang perawat Starnberg. Tidak, itu belum sepenuhnya mirip.
Rasanya begitu jarang hal semacam ini pernah terjadi di Potsdam. Mungkin pot itu jatuh karena angin, atau justru itu memang sudah tertulis di buku ketentuan. Hujan masih turun dari langit dan kuingat dengan jelas bagaimana sore itu terasa aneh. Jalanan hampir sepi dan tidak banyak orang di sana-sini.
Aku melihat pada pecahan pot yang jatuh di sampingku, hancur. Herrz Muller masih berdiri di sampingku, dan kurasa untuk pertama kalinya aku melihat ekspresi itu ada padanya—ketakutan. Itu tampak aneh. Ia mendekatiku dan suaranya setengah bergetar. "Noah."
Aku mengingat ketakutan itu. Persis seperti bagaimana Sinclaire menciptakan itu dengan kisahnya. Apakah akan berbeda andai saja aku tidak menghampiri Herrz Muller dan membiarkan sepeda menabraknya, lalu kisah itu diakhiri dengan pot yang seharusnya jatuh ke tanah. Seperti di mimpiku. Oh, aku belum sejahat itu.
Kulihat beberapa dari kelompok orang berhenti, memperhatikanku seakan dengan begitu mereka dapat disebut simpatisan. Aku tidak dapat mendongak, jadi hal yang dapat kulihat hanyalah sepatu mereka. Kotor dan basah, mereka memasang jarak sekitar empat kaki dariku.
Tidak dengan Herrz Muller, ia menahan bahuku, dan kulihat mata kelabunya bergetar saat melihat pot yang menimpaku hancur. Bahwa keterkejutannya berubah menjadi kecemasan. Aku bahkan tidak mampu untuk berbicara. Kepalaku terasa berat dan aku hampir tidak dapat berpikir dengan baik.
Anak itu lalu berbalik, melihat kelompok orang yang berdiri di sekitar dengan sorot kekesalan yang menakutkan. Ia berteriak, "Apa yang kalian lihat, Dummkopf?! Berdiri tak berguna di situ dan membuat diri kalian semakin bodoh dengan hanya menonton?"
Astaga, anak ini! Belum pernah kudengar ia berteriak seperti itu. Mereka diam membatu dengan perasaan rendah diri. Aku menarik lengan baju Herrz Muller, melihatnya terkejut seakan keberatan dengan tindakan beraninya. Oh, tapi aku dapat merasakan solidaritas itu darinya.
Beberapa dari orang-orang kemudian mendekat dan membantuku. Langkah mereka ragu, seakan di bawah sepatu mereka menyisahkan rasa malu. Satu-dua pasang sepatu melangkah mendekat. Aku hanya dapat melihat sepatu mereka. Beberapa orang kemudian berbicara, samar-samar akan tetapi terdengar peduli.
Seingatku, seorang nyonya baik memberikan syal yang ia kenakan untuk menghentikan pendarahan lukaku. Maupun seorang pria berjangut yang menawarkan payung untuk kami. Oh, betapa mengejutkan bahwa seorang anak di akhir usia dua belas tahun mampu menarik kepedulian umum. Astaga, sudah seharusnya aku menyadari itu bahkan sejak pertama bertemu.
"Biar aku saja," ucapku pelan sambil merebut kain yang sudah berlumuran darah darinya. Aku berdiri dengan susah payah dan mengambil alih sisa perannya yang tertinggal. Herrz Muller mengernyit. "Terima kasih ... dan maafkan soal temanku yang berteriak tadi."
Mereka saling bertatapan seakan itu bukanlah hal yang salah. Beberapa dari mereka tak memersoalkan Herrz Muller dan secara harfiah memaafkannya, menjadi bermoral tentu bukanlah kesalahan. Mereka lalu menanyai keadaanku lagi dan menawarkan bantuan yang lebih. Aku menolaknya. Sudah cukup aku sebagai peran pada kisah hari ini.
Aku kemudian mengajak Herrz Muller pergi dari situ. Melihat wajahnya yang sama sekali tidak bersalah setelah berteriak kasar membuatku tak habis pikir. Ia diam tanpa mengatakan apapun dan membuatku takut ia akan dijadikan standar anak kasar di Potsdam. Oh, tentu kami memiliki standar berbuat sopan di tempat umum.
"Hei, sobat? Kau sudah baik-baik saja?" Ia mengikutiku dari belakang. Ekspresinya tampak sedikit menyesal, namun bukanlah penyesalan karena sudah meneriaki orang-orang. Ia lalu merebut sepedaku dan memberikan sapu tangannya. "Biar aku saja. Kau tidak sadar, ya? Kepalamu masih berdarah. Ya, di dahimu, kau berjalan seperti mayat hidup."
Aku diam. Oh, kupikir aku tidak akan mati, setidaknya aku bisa pulang sendiri sampai rumah. Apapun itu Herrz Muller menawarkan diri untuk menitihkan sepedaku. Aku berjalan beberapa langkah di belakangnya, dan kulihat beberapa orang di jalan melihat ke arah kami—yang pasti mereka melihatku. Kurasa Herrz Muller benar, bahwa aku berjalan seperti mayat hidup.
Awalnya kami hanya diam. Gerimis mulai berhenti dan aku mengejarnya. Ia melihatku agak terkejut, seakan tak percaya bahwa aku masih mampu berjalan. Oh, tentu saja kepalaku hampir pecah barusan. Aku lalu memberitahunya untuk tidak berteriak kasar seperti tadi.
"Oh, Maafkan aku, tapi kau tidak boleh membiarkan kepribadian itu ada di masyarakat. Memaki adalah jalan tercepat untuk menyadarkan kedunguan mereka, setidaknya itu berhasil." Suaranya terdengar percaya diri. "Menjadi peduli itu penting. Kau boleh menjauhi orang-orang yang tidak pernah mau peduli, atau memilih berteriak mengingatkan mereka."
"Kuakui, kau benar, hanya saja memaki itu salah," kataku sedikit menghakimi. Aku merasa aneh bagaimana Herrz Muller sedikit terlihat seperti Sinclaire. Bagaimana mereka membantuku dengan cara yang salah, sangatlah mirip. Jika Herrz Muller sebaik ini, mengapa aku harus menjauhinya?
Aku lalu melihat rumahku dari arah yang cukup dekat. Herrz Muller membantu membawakan sepedaku sampai rumah. Tiba-tiba langkahku terasa berat dan sulit. Oh, aku berharap setidaknya aku tidak pingsan setelah ini. Kepalaku sangat sakit sekarang. Rasanya seperti hampir meledak.
"Cepat bersihkan lukanya dan obati," katanya sambil melihatku. Aku tentu berterima kasih dan memintanya segera pulang, sebelum hujan kembali turun.
Ia berbalik, dan aku kembali melihat wajah penyesalan itu di wajahnya. Apa yang ia pikirkan? Aku melihat ekspresi yang sama saat aku terluka tadi. Namun, dalam sepersekian detik ekspresi antusiasnya kembali. "Hei, kawan! Kau juga harus menjauhi orang-orang yang bisa melukaimu—sekalipun itu aku."
Tiba-tiba? Itu membuatku terkejut setengah mati. Mungkin secara jelas itu terdengar seperti peringatan yang spontan. Namun, aku tidak menanggapinya demikian.
Aku ingat dengan jelas, Sinclaire pernah memintaku menjauhinya. Bahkan sebelum pot itu jatuh hari ini. Aku bahkan tak berpikir sedikitpun bahawa itu salahnya.
author note
Gak kerasa sudah hiatus berbulan-bulan. Entah, kenapa semangat saya sempat hilang hahaha tapi semoga tahun baru semangat baru. Sebenarnya inti permasalahan ceritanya sudah cukup jelas, ngomong-ngomong ada yang ingat mimpinya Noah? Iya, yang dia ketiduran di tempat persuratan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sinclaire
FantasyNoah bersama dengan pengampunan dan kematian. Masa kanak-kanak dengan jati diri yang dewasa dan seorang anak perempuan yang bersandiwara layaknya rekan yang pantas bagi masa muda Noah. Ia adalah seorang malaikat dengan kabar terburuk sepanjang kehid...