BAB 5: Pemberi Makaroni

1K 188 131
                                    

Sekali waktu aku berjalan melalui kota, berhenti untuk mengindahkan pemusik jalanan layaknya komposer hebat dengan biola dan harmonika mereka. Melarikan diri karena bosan tanpa apapun yang kupunya di kantong bahkan satu keping uang penny. Tidak ada apel atau Sinclaire, pergi sendiri layaknya pengelana yang miskin dan kedinginan.

Sesungguhnya, aku hanya memperhatikan seorang anak laki-laki yang membiarkan burung merpati memakan makaroni di tangannya. Dia sedikit saja lebih tua dan dengan cepat menarik perhatianku, sama seperti yang ia lakukan pada semua orang yang kebetulan ada di situ. Dia tampak mencolok dengan animo kecil dari orang-orang yang hanya melewatinya. Tanpa mengurangi rasa hormat, kuakui dia berdiri seperti seorang bangsawan yang banyak dibenci anak-anak karena ego yang tinggi.

Aku tampak tak lebih dari seorang pecundang saat impulsku tak sadar salah satu peliharaannya yang tunduk menghampiriku. Seekor burung yang getir penasaran seperti tak kalah denganku yang juga memperhatikan tuannya—si pemberi makaroni—sampai anak itu sadar bahwa hewan gembalanya pergi menggangguku.

Ia berjalan mendekatiku, menyapaku layaknya seorang anak dari sekolah umum dengan pendidikan tata krama yang baik. Dia berbeda dan sepenuhnya menawan, seperti seorang pangeran muda yang berusaha keras menyamar di antara sekumpulan buruh tani. Aku mengangguk dengan hasrat kagum luar biasa.

"Maaf, dia pasti sangat menganggumu," ucapnya tak lebih berani dari orang dewasa, mungkin lebih seperti seorang kepala pelayanan publik yang minta maaf atas ketidaknyamanan.

Ia menggenakan rompi dari sekolah menengah yang dengan cepat menarik perhatianku lebih. Ia terlihat memiliki impak tinggi, seorang siswa yang pastinya mencolok dan terkenal. Tentu saja, figur yang terlihat banyak mengambil bagian dan si penguasa segala bidang di kelas. Seseorang yang tak memiliki masalah tentang bakat seni atau pun keterampilan akademik.

Atau sang pemberani yang akan pergi dengan seragam terjahit rapih dan pulang di separuh senja dengan luka dari perkelahian anak-anak—mungkin karena masalah saling menuduh atau pembelaan. Siswa yang dipenuhi dengan rumor pahlawan dan acap dipuji sebagian fraksi di sekolahnya.

Tiba-tiba ia tersenyum, seperti ada sesuatu yang berhasil ia tafsirkan dari sorot fanatikku. Tapi ini aneh, bahkan lebih dari ganjil. Kenyataannya, seorang siswa teladan dari sekolah menengah pasti akan mengikuti kelas dengan baik dan tidak pergi bermain bersama makaroni dan burung merpati—berbeda jika ia bolos kelas.

"Tentu, aku berada di sekolah negeri. Rompi ini sudah cukup menjelaskan," katanya berbicara seakan itu adalah sebuah pengenalan atas dirinya yang harus aku catat.

"Aku tidak bersekolah," ucapku dengan pemahaman tanpa rasa bersalah.

"Kalau begitu aku hampir sama. Tidak ada anak yang mau mengikuti kelas sampai akhir. Itu akan membuatmu terjebak di pelajaran moral yang beracu pada cerita rakyat dan cerita dari seorang pemuka." Kali ini ia tersenyum yang mana justru aku terbelalak dengan perkataannya.

Aku terkesiap dengan suaranya. Ia terdengar tanpa emosi yang berlebihan, seorang penguasa sentimental yang hidup di bawah jubah anak-anak—layaknya pesulap dengan mantra magisnya—serta menyembunyikan rupa menawannya yang ganjil lewat senyum polos terdidik.

Aku memandangnya aneh. Bertanya pada diri sendiri harus kuberi judul apa pertemuan ini. Aku lalu mengatakan padanya bahwa tak semua cerita rakyat yang menyebar cepat di seluruh dunia sangatlah membosankan, kecuali kalau ia adalah seorang pemikir.

Ia lalu merangkul bahuku. "Apa cerita rakyat menarik bagimu? Begini, Kenyataannya bahkan para pencerita itu tidak dapat membuktikan kebenaran cerita yang ia bicarakan untuk kami. Sepintas, cerita rakyat itu tidaklah ganjil karena mereka membuatnya terdengar umum. Satu-satunya kesalahannya adalah cerita semacam itu tidak dapat sepenuhnya diceritakan lewat sudut pandang orang ketiga. Untuk pesan moralnya, kupikir semua kehidupan memiliki pesan moral, jika kau cukup pandai kau akan sadar bahwa itu tak akan lagi berguna bagimu."

Aku mulai tertarik dengan pembicaraan. Mungkin, untuk seseorang yang menghabiskan waktu di rumah dengan dongeng lama seperti diriku, justru kata-katanya sedikit menyakitkan. Aku sadar, diam-diam aku menyetujui gagasan asal di otaknya.

Setelahnya, aku berpaling kembali dan ia telah duduk sejajar denganku di tangga batu. Ia memiliki mata kelabu, satu-satunya hal yang tampak paling umum pada penampilannya. Dua-tiga kali aku meliriknya dan mendapati sesuatu yang lebih sempurna—seperti patung—tapi suaranya sangat lembut menyerupai lonceng pada toko buku yang tenang, mungkin lebih tepatnya seperti peri.

Dalam periode itu, terpikir sekali pergi meninggalkannya tanpa harus memberi salam perpisahan demi menjaga sopan-santun. Bukan karena fisiknya yang sangat tenang dan dominan, tapi rasa penasaranku padanya yang hampir berlebihan adalah alasannya.

Ia menarik tanganku tiba-tiba. Aku segera merasakan tangannya yang dingin luar biasa. "Kau tidak kebetulan hanya melihat burung-burung itu, kan?"

Ia memberiku sebagian besar makaroni yang ia punya. Tentu, aku menerimanya dengan senang hati dan membiarkan burung itu mendatangiku bagai rekan lama. Dia melihat ke arahku tapi hampir tak seperti memperhatikan, mungkin lebih tepatnya menunggu makaroni di tanganku habis dan melihat kemahiran yang kumiliki. Sedikit ada keinginan dipuji yang aku tunggu darinya.

"Apakah terdengar seperti penghakiman?" katanya pelan sambil melempar sisa makaroninya ke jalanan taman tanpa melihatku, seperti ia sedang berbicara sendiri tanpa ingin seseorang mendengarnya.

Aku hanya melihatnya sebentar—barang mungkin sedetik. Burung-burung yang datang bergabung di pesta kecil makaroni jauh lebih layak mendapat sambutan ketimbang teman di sampingku. Aku tak pernah sebegitu terkesannya pada anak muda sebayaku, ia layaknya saudara yang baru datang menemuiku dari desa dan sengaja membawaku ke taman sampai kedinginan. Kemudian, menceritakan pengalaman antiknya di desa saat mencuri apel atau berkeliling kebun anggur sepulang sekolah.

"Bagi guru-guru itu, aku adalah pemilik reputasi buruk yang tak pantas dihormati, tapi bagi orang tuaku, aku adalah seorang pemain ulung di drama bajak laut yang hebat," ucapnya bagai pencerita yang ahli.

Aku hampir percaya sepenuhnya, aku hampir ditariknya tenggelam dalam pentas kanak-kanak yang sedang dewasa. Penampilannya menunjukkan cerita yang berlawanan, sebuah citra beradab hancur karena rumor kecil di antara anak-anak sekolah—tentu, kami hanyalah anak muda yang sulit mengingat—tapi agaknya, aku mempercayai pungkasan singkatnya.

"Aku Herrz Muller."

Herrz Muller, si pemberi makaroni. Akan kucatat dan segera menambahkan namanya ke salah satu orang yang harus aku ingat di masa depan.

 Akan kucatat dan segera menambahkan namanya ke salah satu orang yang harus aku ingat di masa depan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SinclaireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang