BAB 7: Telegram

734 139 113
                                    

Sudah berapa lama sejak aku mencoba menikmati makananku? Oh, ayah meninggalkan semangkuk salad di meja makan sebelum ia pergi bersama kereta pagi ini. Saladnya hampir mengecewakan dan aku kehilangan selera makanku. Tentu, keluarga yang baik akan menghargai barang sesendok garam hidangannya, tapi perangai itu tidak cocok denganku.

Orang dewasa sering menggunakan koran sebagai pelampiasan atas nafsu makan yang rendah—terkadang membalik halaman koran pun dirasa kurang sopan bagi keluarga menengah. Dan rasanya anak kecil tidak akan menggunakan koran sebagai tanda bahwa ia menolak mendekati peralatan makannya.

Aku duduk di kursi makan sambil mengecek kembali telegram yang dikirim untukku sampai bosan. Aku menghela nafas panjang dan melihat ke luar jendela. Aku melihat pagar kayu sejauh satu mil, sepeda yang tergeletak di sisi rumah selama musim dingin, dan kampung halaman bagi setengah penduduk Potsdam.

Itu tidaklah seperti beberapa tahun lalu. Aku ingat bagaimana tuan tanah di samping rumah kami mengambil langkah yang sama dengan tokoh aksi. Ada jendral Perancis dan para perusuh juga di depan rumahnya. Hidup hanya dipenuhi permusuhan, terkadang egois dan indah, kuno dan kontemporer, kejam dan sepihak. Sesekali gambaran semacam itulah yang muncul di mimpi-mimpiku.

Dan terkadang aku mendapati juga gambaran seperti itu dapat tersisih dengan jelas. Tak ada catatan publik yang menjelaskan kecemasan itu atau pun rumor yang sangat menarik untuk dibahas para orang tua. Semua itu murni dialami. Bahwa kisah semacam itu hanya pelengkap dari sejuta cerita yang dapat dicatat—hampir tak penting.

Karena demam dan terjebak selama musim dingin aku jadi sering bertemu dengan Sinclaire. Terkadang dia tidak menghiraukanku dan hanya bermain dengan kuasnya. Sesekali dia juga menemaniku duduk di ambang jendela kayu di loteng, melihat ke luar jendela dan mengomentari cara berjalan orang-orang yang melintas. Bagus untukku, dia tidak membiarkanku sendirian.

"Bagaimana dengan sarapanmu?" sindir Sinclaire dari kursi di sebelahku. Lukisan yang hampir ia selesaikan menunjukkan seberapa lama aku telah mengacuhkannya, aku tahu itu.

"Kau bisa mengambil sarapanku."

"Lucu sekali. Inilah mengapa kau bisa sekurus kelinci," komentarnya. "Oh, liat! Ini telegram dari Herrz Muller!"

Aku melirik Sinclaire penasaran. Itu berhasil menarik perhatianku lebih dari ladang snowdrops di luar sana. Mari lupakan saladku yang tidak menarik. Anak pemilik pengetahuan jompo di era revolusi itu memang telah menarik dunia untuk melihatnya.

"Kau mengenal Herrz Muller? Aku tidak pernah menceritakan tentangnya padamu."

"Tentu saja, anak itu sering bertemu denganmu di taman. Mungkin dia temanmu sekarang," katanya sambil membaca telegram Muller. "Anak muda itu datang dari pedesaan kumuh dan kehilangan ibunya yang seorang buruh mekanikal untuk Perancis. Kau bisa lihat, dia adalah anak laki-laki yang cerdas, yang entah bagaimana menikmati pekerjaannya memberi makaroni. Karakternya yang kuat membuat Muller dapat bertahan di antara siswa-siswa peringgi terhormat, meski sesungguhnya ayahnya juga seorang esais terhormat di Perancis. Bukan maksudku mengatakan hal tentangnya yang justru membuatmu keberatan, tapi baik untuk kau ketahui. Dia pasti tidak suka saat kau begitu penasaran dengannya."

Aku tak bereaksi, entah bagaimana kami mulai terbawa pada diskusi asing tentang Herrz Muller. Oh, aku berharap kami bisa membicarakan sejarah murni era revolusi saja. Dan tanpa meninggalkan realitas, aku mulai menyahut topik yang dibahas bagai nyonya rumah tangga yang tidak sabaran.

"Temanku, kau sedikit keterlaluan. Jika ini terjadi beberapa abad lebih dulu, orang-orang akan berbicara dan mengira aku bekerja sama dengan penyihir atau semacamnya."

"Tentu aku juga mengenal Herrz Muller," jawabnya sesantai mungkin.

Aku hampir terkejut dengan perkataannya. Namun, ia lalu tertawa bergurau sehingga aku berpikir bahwa Sinclaire tidak bersungguh-sungguh—terkadang melucu tidak cocok dengannya. Walau begitu aku tetap penasaran dan mencoba mendesak Sinclaire untuk memberi tahuku dari mana ia bisa mengetahui Herrz Muller sejauh itu.

Aku hampir mengira Sinclaire adalah seorang peramal dari kerajaan fantasi, atau seorang penyihir yang dipecat dari sekolah sihirnya. Kemudian, setelah mendengar keraguanku anak itu tertawa terbahak-bahak sambil memukul meja makan di hadapan kami. Luapan tawanya berhasil membuat telegram di atas meja ikut merasakan emosi tak terduganya. Sepertinya aku baru saja membuat candaan yang sama sekali tidak berbobot.

"Kau lucu sekali temanku. Seharusnya kau berhenti membaca cerita rakyat imajiner sekarang," katanya masih tertawa.

Dan di hari-hari selanjutnya, ia masih bergurau dan mengacuhkan keseriusanku tentang Herrz Muller. Kali ini dia tidak menertawaiku seperti saat sarapan di meja makan, tapi ia hanya tersenyum dan menarik bahunya ke atas seolah-olah tidak tahu tentangnya. Dan selama aku menghabiskan waktu bergurau dengan Sinclaire, aku mulai jarang bertemu dengan Herrz Muller.

Suatu hari, aku memilah lagi telegram baru yang dikirim untukku dan ayah, aku menemukan salah satu telegram dari Herrz Muller di antara telegram ucapan tahun baru. Rasanya kebahagiaan baru saja meloncat di atas kepalaku. Aku lalu membawa telegram milikku ke kamar dan membacanya bersama dengan Sinclaire.

Aku membaca telegram Herrz Muller dengan baik dan teliti. Surat itu banyak menceritakan kabar dan pengalamannya berlibur, terkadang ia menaruh beberapa pribahasa di kalimatnya dan banyak darinya juga yang tidak aku ketahui. Meski begitu aku dapat merasakan ikatan solidaritas darinya lewat tulisan yang ia kirim untukku. Itu sepenuhnya objektif dan jelas.

Aku mulai mengingat hari itu, hari saat ia menunjukkan puisi pondoknya. Aku duduk di kabinet dan mendengarnya mengutip kembali salah satu puisi favorit Goethe. Oh, Intonasi dan artikulasi seorang penyair pasti tertinggal di keturunannya. Apakah itu adalah bakat otodidak? Aku mulai mengingat rel kereta apinya, bau pohon oak, dan keramahan temanku.

"Apa aku bisa bertemu dengannya lagi?" tanyaku seakan berharap lebih.

"Aku bukan peramal Noah Helmss."

"Lalu bagaimana kau tahu kami bertemu di taman?"

"Aku melihatnya," katanya tanpa penawaran yang jelas.

"Aku melihatnya," katanya tanpa penawaran yang jelas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Note Author:
Hmmm ... apa Muller mengenal Sinclaire juga? Wah, kalau iya berarti mereka bertiga saling berteman dong! *sok gatau*

Oke, Sinclaire sepertinya memang jarang up ya. Semoga jadwal up yang payah ini tidak akan terjadi lagi selanjutnya. Dan apakah kalian sudah menikmati hari libur?

SinclaireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang