BAB 13: Hansel

472 92 77
                                    

Saat aku sampai ke rumah itu adalah petang, kira-kira hampir pukul enam, dan aku melihat anak-anak yang lebih muda dariku masih bermain sepak bola di ladang yang tak jauh dariku. Aku hampir mengenal beberapa anak di sana saat bertemu di klinik kesehatan. Entah kapan terakhir kali aku melihat mereka setelah musim dingin yang panjang.

Mungkin beberapa dari mereka hanya berada di rumah karena kemiskinan orang tuanya, atau menetap di kapel karena saudaranya seorang pemuka. Jika sedikit beruntung mereka bisa pergi bermain papan seluncur salju di bukit dengan sepupunya yang lihai mengendap-endap. Mereka tahu apa yang harus ditulis dalam catatan mereka saat musim semi.

Bisa dibilang, aku tidak pernah memiliki rencana yang dapat digaris bawahi dalam catatanku. Aku pernah menulisnya sekali, itu adalah saat aku pertama kali masuk ke gudang di musim panas untuk membantu ayah. Oh, mungkin itulah pertama kalinya juga aku menaruh ketakutan pada beberapa ruangan gelap dan alat pel di gudang.

Aku menggesek kasar sepatuku. Tirai jendela yang robek tidak bisa menyembunyikan sosok ayah di ruangannya. Aku ragu apakah ia mendapat waktu yang produktif saat bekerja seperti itu. Ruangannya selalu rapi, dia tidak pernah punya waktu untuk membuatnya berantakan. Terkadang ia menyalakan gramophone untuk mereda suara buruk dari mesin tuanya.

Aku memastikan bahwa sepatuku bersih. Ketika aku memutar kenop pintu, aku teringat dengan buku cerita yang kubawa. Oh, sejak kapan aku memiliki keterkaitan seakan cerita di dalamnya akan terdengar normal dan logis. Bahwa tidak akan ada kegilaan di dalamnya yang berkaitan.

Aku bisa saja hanya meninggalkannya di meja seperti anak-anak lain yang tidak tertarik. Aku lihai dalam mengabaikan, aku telah banyak belajar. Mungkin, aku bisa masuk ke dalam rumah dan tidur sampai besok. Namun, secara alamiah Sinclaire selalu menarik dunia untuk memperhatikannya—termasuk aku.

Aku memilih melewati ruangan ayah seperti pemburu—mungkin seekor tikus—yang tersesat di rumah penyihir jahat. Oh, seharusnya aku membuat keluhan saat pertama kali pindah ke sini, kenapa ruangan ayah harus berada di dekat tangga? Itu membuatnya mudah untuk mengawasi orang-orang rumah yang gemar pergi sepertiku. Aku tidak yakin apa ia bersungguh-sungguh saat mengatakan tidak masalah jika aku pergi.

"Kau bukan tikus jika berada di rumahmu sendiri, tuan muda." Ia menemukanku dan aku mendengarnya menghela napas. Itu tidak berguna.

Aku berhenti, tapi tidak berputar. Entahlah, aku sangat penasaran bagaimana caranya Herrz Muller dapat diam-diam melewati veteran di rumahnya. Kau harus membaca buku sebanyak yang ia baca untuk menyamai Muller. Beruntung, aku pulang bersama alasan yang baik.

"Aku pergi untuk meminjam buku di rumah temanku." Aku berputar, mengangat buku itu di bawah daguku.

"Demi Tuhan, bukumu sudah banyak sekali," katanya masih berada di pintu. "Teman yang mengajakmu jalan-jalan ke rel kereta?"

"Ayah berpikir begitu tentangnya?"

Ia melirik pada sepatuku. Oh, aku berharap ia tidak memeriksa karpet kaki di depan pintu juga. Aku tidak pernah mencoba berbohong pada ayah, sungguh. Kebenarannya adalah bahwa aku hanya pintar menyembunyikan kesalahan. Anak-anak tidak pernah pintar berbohong.

Bagus atau tidak. Ibuku adalah seseorang yang hampir sama denganku, bukan artinya ia membenci bepergian ke kedai dengan teman-teman asrama perguruan tingginya. Ia hampir semulia ayahku, bahwa ia sedikit perasa dan menyukai cerita-cerita tak berdasar dalam logistik. Mungkin, dia akan percaya—tidak dengan ayahku—jika aku bercerita tentang ini.

Ayah beranjak. Membawa gelasnya ke meja dan mengisinya. Aku tahu ayah diam-diam masih melihat kulit sepatuku, penglihatannya cukup baik bahkan tanpa kacamatanya. Hanya kacamata, tidak ada jenggot, tidak ada topi, tidak ada tongkat sihir. Dia memiliki kemampuan untuk melakukan apapun—seperti mengetik di puluhan lembar kertas dalam satu waktu, membuat salad, dan memberi tahu apa yang harus aku lakukan—yang membuatnya tampak ajaib. Sekiranya begitulah yang aku pikirkan tentangnya.

"Aku membeli apel," katanya sambil melempar apel dari tempatnya. Oh, beberapa orang gemar sekali melempar.

"Apel di awal musim semi," gumamku, kupikir aneh. "Aku akan naik ke kamar."

"Makan malam?"

"Aku akan turun lagi nanti."

"Hei, tuan muda yang serba benar," katanya seperti baru saja teringat sesuatu. "Kau membuang obatmu lagi di tempat sampah?!"

Tentu, luar biasa, dia pasti juga memeriksa setiap tempat sampah di rumah. Kupikir ayah sedikit lebih buruk dari ibuku. Aku tak menanggapinya serius, terus kudapat langkah pelan dan cepat untuk sampai ke kamar. Pura-pura tidak mendengarnya dan berpikir untuk mengalihkan pembahasannya nanti di meja makan. Penyakit imun tidak bisa sembuh semudah itu.

"Tuan muda serba benar? Yang benar saja."

Aku melepas mantelku dan menggantungkan di belakang pintu. Ada lubang di kerah mantelku, mungkin karena sering digantung. Saat musim dingin aku banyak menghabiskan waktu di dalam rumah, sungguh berada di rumah dan tidak pergi. Sinclaire tidak pernah membuatku bosan. Apa karena ia berusaha membuatku tidak bertemu dengan Herrz Muller? Jika benar, itu berhasil. Oh, lalu apa selanjutnya?

Aku menaruh buku dan apelku di meja. Membuka bukunya seolah itu buku cerita biasa yang kudapat dari nenek di seberang jalan. Aku tidak mengira bahwa ceritanya akan panjang, sedangkan ada sub judul untuk setiap bab. Ada coretan yang dibuat dengan tinta.

Ada beberapa baris frasa pembuka di awal cerita, tulisannya mengingatkanku dengan surat milik Herrz Muller. Pada dasarnya, anak itu sepertinya akan menyukai buku ini. Aku yakin ia penyuka dari bahasa rumit. Tidak masalah, ayahnya adalah seorang ahli bahasa. Aku tahu, Sinclaire tidak mungkin berniat memberikan buku ini begitu saja pada Muller. Lihatlah sampul dan judulnya, tentu saja gadis itu berharap aku yang memiliki buku ini.

Aku membaliknya dan mulai membaca ceritanya. Cerita tentang seorang anak usil yang pergi dengan meloncat dari jendela kamarnya untuk dapat keluar, dengan begitu ia dapat melewati pengasuh rumahnya tanpa disadari. Diceritakan bahwa tokoh utama sangat pintar, ia juga seorang pemberani dengan melanggar aturan yang dibuat tuan rumah tempat ia tinggal.

Apa yang kucari? Kutemukan! nama tokohnya begitu familiar untukku, bagi seorang pecinta cerita rakyat. Tokoh utama dengan nama Hansel.

Ketika si Pengelana Pergi.

Cuma Hansel, gak ada Gretel:v

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cuma Hansel, gak ada Gretel:v

SinclaireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang