BAB 26: die Treppe

276 40 17
                                    

Dunia dapat berbalik dengan mudah dalam semalam dan dalam jangkauan itu selalu ada perubahan, baik menyenangkan atau serius, memuakkan atau indah. Itu yang kutangkap lima tahun terkahir ini. Aku ingat seperti apa aku dulu, mungkin seperti ibuku, atau itu berubah karena kegemaran membaca yang aneh.

Contohnya seperti tahun-tahun kemarin ketika aku berhenti menulis surat pada ayah sebagai tanda protes ketidakpulangannya, atau ibu yang membangunkanku tatkala mesin kapal udara menari di atas atap. Kami akan pergi ke banker bawah tanah di tengah malam dan naik saat fajar. Kami menolak membahas ketakutan itu di meja makan esok pagi, tapi ibu akan memelukku sebelum pergi sekolah.

Bisa dibilang sebelum ayahku, ibulah yang menemaniku lebih banyak. Bahkan ketika ibu meninggal aku tidak langsung berbicara pada ayah dan menangis seperti anak belasan tahun lain. Sementara itu kembali perlahan dan menggeser dominasi ingatan baru. Aku memilih menyisihkan kertas pesan, buku, dan sang penggila apel bersamaan.

Ketika matahari terbenam di belakang rumah dan menghilang di balik kabut pohon pinus. Aku turun dari kamar dan tanpa sadar mengoceh tentang di mana Sinclaire berada. Dia menggambar di atas buku antologi milikku! Oh, tak kembali ke sekolah bukan berarti aku tidak membutuhkannya kembali. Ayah berlalu di bawah tangga dengan tumpukan buku dan bertanya mengapa aku terlihat marah.

"Bukan apa-apa." Aku membuang napas berat, berhenti di pertengahan anak tangga, dan bertanya apakah ada sesuatu yang dapat kubantu. Mestinya ini lebih baik dibanding mengeluh soal Sinclaire setiap kali dia berbuat kerusuhan.

Ayah menolak, namun ia memintaku ikut ke ruangannya sebentar. Aku mengikuti dan ayah tertawa, bercanda tentang betapa berantakan ruangannya akhir-akhir ini dan mengatakan untuk tidak terkejut. Walau aku bertaruh ruangannya tak seheboh kamarku. Meski kami memiliki porsi yang hampir serupa mengenai ruang pribadi. Aku jadi ingat kalau ayah jarang tidur di kamarnya sendiri sekarang.

Di dalam aku berdiri di suatu sudut ruangan. Merasakan aroma tebal dari anggur yang disimpan entah di mana. Ayah menaruh buku-buku di ujung meja dan aku berkata, "Itu buku ibu?"

Sebagaimana diketahui, ayah adalah segelintir Jerman yang tidak terpengaruh oleh non fiksi belaka, sehingga sulit dijelaskan jika ketertarikan semata adalah dasar buku itu ada di meja. Aku jelas mengenal buku-buku itu dan pernah melihatnya beberapa kali. Tepat setelah itu, ayah tersenyum. Seakan dia sendiri selalu menunggu pertanyaanku. Dia datang dan menaruh sebuah kotak lain yang dilapisi debu menguning.

"Mungkin kau tahu jika ayah mengembalikan beberapa barang ibu ke keluarganya di Barnim beberapa minggu setelah ia wafat. Namun, mereka membiarkan ayah menyimpan beberapa—barang yang paling penting—dan aku baru ingat sekarang, ya, setelah dua tahun."

"Dan ingatan ayah kembali setelah menengguk satu botol anggur sendirian."

Dia tertawa dengan cara yang hampir mirip seperti bergurau. "Tidak, tidak. Awalnya ayah memang tidak ingin buru-buru membukanya."

Meski aku tidak pernah meragukan batasannya tapi demikian aku merasa berada di tengah kedai minuman, di samping pria paruh baya yang senang memesan anggur berkualitas sambil bercerita panjang soal istrinya, dan aku mendengarkan seolah tak pernah keberatan. Kami memiliki percakapan singkat soal surat-surat ibu dan bagaimana komunikasi mereka tetap berharga selama perang kemarin.

Wajahnya menjadi kusam dan memerah. Aku penasaran, apa saja yang pernah ibu ceritakan pada ayah. Lagipula, apa yang diharapkan dari selembar kertas ketika kau berada di pelatihan militer Jerman dan jauh dari rumah selama bertahun-tahun. Bahkan meski mereka memiliki hubungan yang erat dan murni, tidak ada yang dapat menulis semua kisah berhari-hari dalam satu pengiriman pesan.

"Aku tidak akan tanya soal suratmu, tapi Ruth sering mengirim surat dulu, hampir beberapa kali dalam setahun. Kami memiliki banyak cerita satu sama lain dan dia sering mengirim fotomu juga." Ayah memberiku satu. Foto yang diambil pada tahun 1943.

Aku berubah menjadi antusias, membolak-balikkan foto itu dan bertanya bagaimana kertas fotonya tampak layak sampai detik ini. Sampai aku sadar dengan goresan pena di belakang bertuliskan "die Treppe. Ruth Helmss." Kemudian aku bertanya tentang maksud kata itu. Ayah menggeleng dan menganggapnya sebagai kesalahan penulisan biasa. Tapi dia bilang itu tak terlihat seperti tulisan ibu.

"Bisa kusimpan fotonya? Ini juga," kataku sebelum pergi sambil membawa salah satu buku dari atas meja ayah. Aku berbalik sebentar saat ia memperingatkan untuk berhenti mencuri buku di meja tanpa sepengetahuan ayah.

Aku keluar, menaiki anak tangga, dan memutar foto itu di depan mata sambil mengira-ngira. Tidak, itu memang bukan tulisan ibu. Aku berhenti di salah satu anak tangga, menemukan fakta bahwa aku benar-benar mengenal gaya tulisan ini. Dunia tidak bekerja untuk mengulang hal baru, jadi seharusnya ini masih begitu familiar. Di sinilah aku menyadarinya.

Aku pernah melihat tulisan yang sama di sebuah kanvas, potongan kertas di loteng, buku antologi, dan di sebuah catatan. Aku melihat bagaimana kematian yang sama berputar dalam kisah yang terus diulang. Mereka masih segar dan berputar di ingatanku. Tanpa di sadari, mereka—kematian yang Sinclaire ceritakan—memiliki akhir yang sama. Balkon dan tangga, mereka jatuh.

Gadis itu tak menuturkannya dengan sengaja. Sinclaire tidak menceritakan kisah perawat Starnberg hanya karena bosan mengelilingi Jerman. Sinclaire tidak menceritakan kisah esais Berlin hanya karena dia adalah ayah Herrz Muller. Sinclaire tahu soal kematianku bukan hanya karena itu tugasnya. Di awal, semua kisah itu sengaja diputar untuk seseorang. Bukan untukku.

Aku berlari ke kamar dan melihat catatan Muller. Catatan kertas itu memiliki corak tulisan yang serupa, seolah-olah keduanya masih di tulis oleh satu orang yang sama pula. Muller tidak menulis catatan ini. Seseorang ingin kami berdua datang ke jembatan itu dengan akhir di buku cerita.

"Kematian tidak datang pada orang asing yang hanya menangis di pemakaman ibunya." Kutipan Sinclaire berkisar di kepalaku.

Semua kematian yang terjadi satu tahun terakhir, itu datang untuk Herrz Muller. Kematianku justru adalah salah satu yang diputar dalam kisahnya. Di penghujung, kami semua menulis naskah untuk panggung ini.

 Di penghujung, kami semua menulis naskah untuk panggung ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Note:
*die Treppe : tangga.
.
.
Bagaimana chapter hari ini? Ada yang ngira ibunya Noah juga ikut nulis naskah😏

SinclaireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang