Dulu aku pernah mencuri sebuah buku Prancis dengan judul aneh—L'Étranger—dari meja ayahku. Ketika aku bertanya pada ibu apa artinya, dia mengatakan itu tidak penting dan memintaku mengembalikan buku itu pada ayah. Akan tetapi, alih-alih menjadi anak baik, aku diam-diam membacanya di depan menara tempatku bersekolah selama musim panas.
Tidak seperti kisah-kisah lain yang mana kematian acap kali hidup sesekali, kisah di buku itu justru dipengaruhi oleh kematian. Dibuka dengan kematian dari seorang ibu di panti jompo. Sebuah kematian yang tidak istimewa, tapi tebak saja bagaimana tokoh utama berakhir di dasar pisau guillotine, semua itu berakar karena ia tidak menangis untuk kematian ibunya dari awal.
Buku yang mengagumkan, tapi tidak ada kali kedua untukku membacanya. Beberapa buku memiliki kecenderungan mengingatkan orang-orang dengan suatu kejadian dan untuk yang satu ini aku mengingatnya lagi di sini, di sebuah persimpangan dekat rumahku, di antara siang dan petang, di belakang seorang anak laki-laki yang juga tidak menangis di hari pemakaman ayahnya.
Aku memejamkan mataku untuk mencerna semua hal dan secara kebetulan mendengar lokomotif yang melintasi kami, sol sepatu yang ditapak sembarang, dan tercetus ide untuk lari dari tempat ini. Mungkin semua orang memiliki takaran pahit di dunia. Tidak serupa dengan cerita-cerita rakyat yang cenderung berpihak pada tokoh sorotan.
Pada akhirnya tidak ada yang benar-benar hanya mengambil peran lakon di sini.
"Noah, kau dengar aku?" Herrz Muller memberi tepukan di pundakku.
Kami telah sampai di depan rumahku dan berakhir tidak berkata sepatah pun selama perjalanan. Mendadak aku melihatnya asing, sama seperti saat aku bertemu dengannya di taman. Yang menyedihkannya adalah dia menyembunyikan semua yang diketahui dan seolah-olah menumpahkan tinta di halaman akhir.
Bahkan jika aku bisa membaca pikiran seseorang layaknya pesulap, aku tidak peduli dengan isi pikirannya setiap kali melihatku saat ia juga tahu aku akan mati. Maksudku, Muller bahkan menghabiskan waktu musim panasnya di Berlin saat ia juga tahu ayahnya akan meninggal. Dan kau tahu? Ia masih tidak melakukan apapun setelah semua yang ia ketahui.
Kecuali jika di awal dia memang ingin ayahnya mati.
"Hari yang kacau, ya?" Dia mengalihkan pandangannya dan tiba-tiba menjabat tanganku. Muller tak kehilangan sedikit pun suaranya yang tenang, alih-alih menunjukkan gelagat aneh. "Sampai jumpa."
Aku menggenggam tanganku keras ketika ia pergi. Tebak saja, Muller meninggalkan kertas dari jabatannya yang tidak jelas barusan. Mungkin wajahku yang diam tadi membuatnya tidak enak. Tapi kertas adalah ide yang buruk. Jika ia serius terhadap semua ini, dia harusnya memberitahuku. Bahkan dari awal.
Sebelum aku membuka pintu. Sekilas aku melihat ruangan ayah dari jendela. Sepi dan tidak berisik, tidak seperti hari-hari ketika semangat anehnya datang. Di dalam pun tidak ada sepatu ayah. Tidak ada siapapun atau apapun, kecuali sebuah pesan kertas di atas meja makan yang beliau timpa di bawah buku.
"Ayah tidak akan di rumah sampai malam. Tadi pagi aku melihatmu masih di kamar. Kamu ke mana, huh?"
Aku duduk, melihat pintu ruangan ayah masih terbuka, bahkan ada kertas yang masih terjepit di rol mesin ketik. Dari sini pun aku dapat melihat bagaimana dia keluar dari rumah dengan terburu-buru, tapi masih memiliki waktu untuk memeriksa kamar putranya dan menulis pesan. Mungkin jika aku bisa lebih sepakat dengan aturan rumah, ayah sendiri tidak memerlukan kertas pesan.
Oh, ada satu lagi pesan kertas di tanganku. Mengapa orang-orang memiliki kegandrungan terhadap pesan kertas hari ini? Tidak masalah jika kertas Herrz Muller hanyalah pesan biasa seperti milik ayah. Namun, tidak sesederhana itu.
Tekukan di kertasnya sangat jelas. Dia sudah menulisnya sebelum bertemu denganku hari ini. Kertas yang ia gunakan juga berasal dari buku sekolah—dapat dilihat dari ikon instansi pendidikan di ujung kertas.
"Temui aku lagi di jembatan jika bukunya hampir selesai. Herrz Muller."
Sepertinya memang ini alasannya mengajakku duduk di jembatan tadi. Bagaimana jika aku berterus terang bahwa bukunya sudah hampir selesai? Mungkin Muller tidak akan memberikan kertasnya—bisa dibilang bahwa pesan ini adalah opsi kedua—padaku seperti sekarang. Dan apa yang akan dia lakukan jika tahu bukunya sudah terisi?
Semua ini terlalu cepat. Kusandarkan kepalaku dengan tangan. Rasanya kepalaku terasa sakit sejak pagi, bahkan tidak membaik sedikit pun. Ada ruam kebiruan juga di jariku dan itu mengerikan.
Tanpa diduga, sebuah suara mempengaruhiku dari belakang. Keajaiban dari mata itu tidak pernah berkurang. Gadis muda dengan mata safir kebiruan itu melihatku sebentar. Sampai dia melempar sesuatu ke arahku. Tabung obat? Oh, dia menemukannya.
"Ada di bawah ranjangmu. Aku tahu kamu mencari-carinya dari pagi sebelum Muller ke mari," katanya menjelaskan.
Mendadak Sinclaire duduk di sebelahku dan tertarik pada dua lembar kertas biasa yang menyimpan pesan luar biasa untuk hari ini. Paling tidak dia tidak gemar mengeluh seperti anak-anak lain yang tidak tahan di rumah saat akhir musim semi.
"Akhirnya dia bilang juga padamu ... kalau bukunya sudah selesai, kau yakin ingin menemuinya dengan cara begini?" Ia menatapku tajam, sementara aku sendiri tidak tahu harus apa.
Itu jelas. Kurasa aku tahu sekarang kenapa Sinclaire membeci Muller. Dia bahkan lebih tak terduga dari bayanganku. Bahkan jika Muller mau, dia bisa meninggalkan masalah ini dan membunuhku. Seperti ia tidak melakukan apapun untuk ayahnya. Seperti kematian memang terjadi setiap hari baginya.
Aku membuka buku ceritanya. Membaca lembar demi lembar dengan jelas. Hanya tersisa satu bab lagi dan aku tidak tahu kapan bab terakhir akan muncul. Jika aku tidak punya waktu untuk dapat meyakini akhirku sendiri, maka aku akan berakhir sia-sia. Mungkin berakhir dihabisi oleh penyakit.
Sisa buku yang kosong itu menarik perhatianku. "Sinclaire, apakah salah jika Hansel menerima tawaran hidup dari penyihir dan meninggalkan temannya? Tetap saja tidak akan berakhir menyenangkan jika Hansel bersalah seumur hidup."
Gadis itu diam barang sedetik. Sinclaire melirik kedua tanganku. Ia selalu menjadi pilihan terakhir jika aku berhenti mendengar keputusan moral bualan. Sudah lama aku tidak melihatnya berkuasa di sampingku. Ia tak layaknya peramal atau orang asing yang sekedar percaya akan gosip orang-orang mati. Dia bukanlah teman yang merahasiakan identitas aneh.
Sinclaire menyela sambil menarik buku cerita itu di depanku. Tangannya justru membalik halaman-halaman sebelumnya. "Jadi, setelah semua ini kau masih yakin penyihir lah yang menjebak mereka? Jika iya, dia seharusnya tidak repot-repot menawarkan bantuan."
Seperti kataku, semua buku selalu membicarakan dan mengulang pengalaman asing pembacanya. Merasuk pada hal paling aneh dari manusia. Aku bersandar pada kursi dan melihat Sinclaire tersenyum padaku. Senyum yang mengingatkanku dengan pertemuan paling pertama dengannya.
"Kematian tidak datang pada orang asing yang hanya menangis di pemakaman ibunya."
*L’Étranger (Bahasa Prancis: “Orang Asing”) adalah sebuah karya sastra filosofis karangan Albert Camus. Terbit pada 1942.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sinclaire
FantasyNoah bersama dengan pengampunan dan kematian. Masa kanak-kanak dengan jati diri yang dewasa dan seorang anak perempuan yang bersandiwara layaknya rekan yang pantas bagi masa muda Noah. Ia adalah seorang malaikat dengan kabar terburuk sepanjang kehid...