BAB 2: Makam

2.1K 393 261
                                    


Kegelapan abadi, itulah kematian yang aku maksud di sini. Begitulah aku mengutipnya.

Aku memalingkan wajahku. Menatap beberapa wajah asing yang tak pernah kuperhatikan sebelumnya. Patung-patung malaikat yang berdiri di chaple dekat pemakaman, menyambutku dengan isak tangis mereka yang sengaja tertutupi oleh ekspresi senyum yang membatu.

Langit pucat dan guratan cahaya yang menembus awan sangat serasi dengan ranting pohon tak berdaun yang merambat di udara. Seakan alam pun tahu bagaimana harus memperlakukan keadaan sesuai dengan tempatnya, yaitu pemakaman.

Suara kepakan sayap burung-burung yang menjauhi pohon tua terdengar mengerikan. Seakan bahkan mereka tahu bahwa pemakaman adalah tempat terburuk bagi mereka yang masih ada di dunia.

Aku ada di pemakaman sekarang. Hanya datang untuk mengunjungi ibu. Aku merindukannya. Namun, aku tidak ingin tinggal bersamanya. Ya, tidur di bawah nisan dengan tanah yang mengubur tubuhku, membiarkan diri itu membusuk.

Sudah beberapa minggu sejak pesta ulang tahun yang mengejutkan itu. Memang bukanlah ide yang bagus saat seseorang datang ke pemakaman tepat setelah usianya bertambah. Namun, demikianlah di mana diriku saat ini.

Seharusnya aku tetap berada di rumah. Tidur dan menunggu dexamethasone yang kutenggak bekerja. Begitulah caraku untuk menghabiskan hidup.

Bulir air mata jatuh dari sepasang mata kosong. Berusaha mengingat kembali masa di mana aku terdengar begitu hidup. Memasuki kembali ingatan dari mimpi buruk yang tersebar begitu saja. Hanya saja aku tak bisa mengingatnya barang sedikitpun. Tak ada yang tersisa.

Aku mulai terdiam. Tidak berekspresi.

Dapat kudengar suara violin yang digesek dengan sangat lembut dari arah chaple, suaranya terdengar menyedihkan dan teralun seakan dimainkan khusus bagi mereka yang menari pedih atas kematian.

Sesuatu yang telah tiada. Bayangan soal gaun putih mereka yang terurai panjang. Menari bersama tubuh mereka yang melayang di atas tanah. Mahkota sutra yang begitu tipis menutupi senyum mereka yang mengerikan. Mereka menari seakan tak tahu jika mereka telah mati.

Kisah mereka begitu mirip dengan kilasan kematian di pikiranku.

Aku penasaran.

Tiba-tiba pendengaranku menangkap suara siulan bahagia di antara jeritan mimpi buruk dan lagu kematian. Terdengar sangat berbeda. Aku melihat ke segala arah sebelum mendapatinya.

Aku melihat seorang gadis yang berdiri di sana, gadis yang sebelumnya tidak ada di situ. Ia menyampingiku dan menghadap ke pohon tua yang tak kalah rapuh dengan tubuh mungilnya, ia menggesekkan sebuah ranting dan tampak menggambar di atas batang pohon seakan itu hanyalah kanvas kosong.

Wajahnya begitu manis dan bahagia. Wajahnya sama sekali tak mengisyaratkan kepedihan dunia. Seakan bahwa ia belum mengetahui akan resiko yang akan ia rasakan saat mencoba menghirup udara bumi. Seperti tidak ada kematian yang akan menjeratnya.

Ia jauh lebih hidup ketimbang diriku.

"Kutemukan kau," ucapnya melengking seakan baru saja menemukan mainannya yang hilang.

Aku mengangkat satu alisku bingung. Apa ia sedang berbicara padaku? Ia menoleh, berjalan mendekatiku dengan kakinya yang pendek, hampir tertutup seluruhnya dengan gaun hitam yang dikenakan. Rambut pirangnya tampak kaku, tak peduli sekuat apa angin menerpanya.

"Siapa?" tanyaku untuk mengerti maksudnya.

"Noah."

Hening. Aku mencoba mencerna rupanya. Aku belum seburuk itu untuk dapat melupakan seseorang. Sampai akhirnya aku menarik kesimpulan bahwa aku belum pernah bertemu dengannya. Lantas dari mana ia mengetahui namaku?

"Aku adalah lambang dari harapan," ucapnya tak masuk akal

Aku pikir anak kecil memang selalu berbicara seenaknya tapi ia terdengar begitu dewasa. Aku mencoba diam tidak menanggapi obsesinya yang fanatik.

Dia lantas duduk di sebelahku. Aroma tubuhnya begitu harum bak apel yang baru dipetik. Sekilas ia terlihat seperti malaikat tapi senyumnya terlalu mengerikan seperti iblis. Ia bukan manusia, aku tahu itu.

"Kau punya apel?" Tanyanya tanpa balasanku. "Aku akan mengunjungimu jika kau punya apel."

Entahlah tapi aku seperti pernah membaca dari suatu buku, jika seorang malaikat sangat menyukai apel. Sepertinya surga adalah ladang apel.

"Rumahku bukanlah tempat yang baik. Sekarang tempat itu sering sepi. Ada banyak sudut gelap di rumahku," ucapku asal.

"Apa kau bahagia?"

Aku tertawa kecil. Kami bicara layaknya sudah begitu dekat, "Siapa diriku berhak mengatakan aku tidak bahagia?"

"Sekalipun kau tidak mengharapkan kematian?"

Aku terdiam. Aku hanya tidak tahu harus berekspresi seperti apa. Tidak ada kesedihan atau pun kebahagian. Benar, kita sedang di makam sekarang, di mana kau hanya berjarak selangkah saja dari kematian itu.

Seseorang dengan rupa yang tak pernah kukenal sekarang terasa tak pernah asing bagiku. Seseorang dengan sorot mata penuh arti kematian. Serta membawa darah dan harapan pada langkahnya. Pula, ia duduk di sebelahku sekarang.

"Kenapa kau membenci kematian? Bukankah kau sangat menyayangi ibumu? Kau bisa tinggal dengannya setelah ini."

"Gila," jawabku tak setuju. "Karena ... masih ada banyak hal yang menarik di dunia."

Awalnya aku membenci gadis kecil di sampingku tapi dalam sepersekian detik ia sedikit menarik perhatianku. Ya, itu memang aneh.

"Kapan kau akan menemuiku lagi?" tanyaku seperti berharap.

Tanpa aku sadari aku mengatakan hal memalukan itu. Bagaimana jika selanjutnya ia datang sebagai malaikat untuk mencabut nyawaku? Aku berpikir terlalu cepat.

"Aku ada di antara siang dan malam, saat seseorang tengah tertidur dan apel."

Aku hanya diam. Lagi-lagi ia berbicara hal yang tidak aku mengerti.

"Apa kau datang untuk menolak kematian?"

Aku terkejut. Sontak kepalaku menoleh. Ucapannya barusan terdengar seperti diperuntukan untukku. Secara tak kusadari aku begitu mengharapkan hidup.

Tatapannya begitu pedih dalam kemenangan, seakan itu adalah tujuannya menghampiriku. Ya, agar aku tahu siapa dia.

"Siapa kau?" kali ini kucoba untuk semakin mengetahuinya.

Ia hanya tersenyum. Aku benci dengan respon seperti itu. Bukan karena senyumnya yang memuakkan tapi justru senyum itu terlalu langka sampai seakan aku bisa merasakan jiwanya yang begitu bebas.

"Aku Sinclaire."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SinclaireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang