Dengan sekali dentuman lonceng, saat di mana awan mendung di langit masuk dalam kategori cuaca baik. Di balik pagar kayu rapuh sejauh satu mil membatasi, jauh di utara penuh teliti, ada makam terselip pohon pinus yang tak pernah habisnya menjadi awal dari dongeng anak-anak. Semua dongengnya merupakan kesalahan dari ketakutan para pengasuh. Tentang kebangkitan mayat hidup, penyihir tua yang tinggal di sana, dan kuburan bagi tentara yang kurang beruntung.
Makam yang jauh dari doa penuh penghormatan, hampir seluruh penduduk Potsdam melupakannya. Mereka hanya membuat lagu-lagu singkat pengingat yang sama sekali merugi. Bahkan tak ada satu pun bata yang disusun untuk membatasi makamnya. Sangat tua dan jauh termakan sejarah baru.
Aku berjalan sejauh kertas itu mengintruksi. Kertas itu bagai petunjuk sederhana tentang pohon pinus yang jauh dari rumahku. Aku dapat melihatnya dari jarak beberapa meter di depan, di antara nisan sederhana yang tertanam. Ada gadis dengan kekuatan mendominasi, sebuah kelebihan, dan keberuntungan akan namanya.
Dia menungguku sambil membuat ukiran tanda pada sebuah pohon. Itu mirip seperti saat kami bertemu di makam dulu. Bagaimana ia menarikku dengan tindakan misteriusnya menggerus batang pohon. Aku ingat pernah mengatasi ketakutan seperti ini dan aku tetap tak memiliki solusi penuh untuknya.
Angin jauh menerbangkan awan kelabu yang tak usai, jejak kakiku membuat ruang lembap di pijakannya, dan pohon tak sepenuhnya berakhir dengan kematian. Kabut menyembunyikan ceritanya, sebuah cerita tanpa akhir yang bisa ia ciptakan kapan pun.
Angin menghembuskan gaun putihnya yang kaku, gaun itu hampir menenggelamkan kaki kecilnya tanpa alas, rambutnya tetap tergerai dengan pita hitam kecil terselip. Seseorang pasti sangat penasaran bagaimana gadis itu dapat sampai ke sini dan bagaimana ia tampak menikmati suasana rusuh ini.
"Gambar itu terlalu mudah untuk di tafsirkan," katanya tanpa melihatku. "Bagaimana menurutmu?"
"Sejujurnya tidak," kataku sambil duduk di tanah dan membelakanginya. "Tentang perawat Starnberg itu ... mari lupakan."
"Kau tahu?"
"Mengenai?"
"Mellanie Herrz, wanita muda cantik pemilik sepenuhnya hati seorang esais terhormat. Dikuburkan 7 tahun lalu bersamaan dengan beberapa mayat pejuang yang tersisa di perbatasan. Wanita yang memiliki kisahnya sendiri, penuh pemuliaan dan gambaran. Wanita yang tak pernah dibahas seorang pun sampai saat ini, bahkan dalam catatan mana pun, bahkan di sini." Sinclaire melihat ke belakang—menatapku— dan ia memberiku sebuah kisah, lagi.
Aku tak menanggapi sorotnya. Aku mengunci perhatianku pada ranting kayu di tangannya. Itu adalah 3 bulan lalu, saat ia mendekatiku setelah memberi tanda pada pohon di makam dekat chaple. Saat pertama kali aku menemukannya di antara ingatan payah yang tak sengaja disinggung. Saat pertama kali aku mendengar namanya yang sangat familier.
Mengapa hidup dipenuhi gambaran akan menjadi apa mereka nanti? Cukup bagus, ia tak sedang tertarik pada kisah orang-orang hidup. Aku tak ingat sejak kapan ia begitu terobsesi pada kisah orang-orang sebelum ini. Seharusnya ia tetap menggambar atau menjahiliku, itu jauh lebih baik ketimbang mengarang.
"Ini tentang Herrz Muller?" tanyaku.
"Dia adalah akhir ceritamu, Noah. Dia bukanlah teman yang seperti kau pikirkan. Penuh kesalahan dan hal buruk," katanya tanpa balasan mata dariku. "Aku dapat melihat perawat Starnberg, aku dapat melihat Herrz Muller, aku juga dapat melihatmu. Aku dapat membuat akhir yang lain untukmu."
Aku melihatnya penuh kepercayaan, tidak, itu bukan kepercayaan yang sepenuhnya. Aku hanya diperdaya olehnya sesaat, ceritanya tentang perawat Starnberg dan Herrz Muller itu hanyalah kebetulan. Tidak ada yang dapat memegang penuh kendali kematian seseorang. Sinclaire adalah gadis kecil yang kebetulan mempengaruhiku. Kenapa tiba-tiba ia mengatakan hal itu? Ia bilang akan membantuku, bukan memperburuk kesan seseorang.
Angin akhir Januari membuatku membeku. Dia adalah malaikat dengan kabar terburuk seumur hidupku-kematian. Oh, andai saja rasa penasaran dari seorang anak 10 tahun tak sedang menguasainya. Ia tak akan pernah berpikir bahwa hidupnya sudah sampai sejauh ini. Dia mendekatiku yang diam. Ia menaruh tangannya pada pipiku yang dingin.
"Bagaimana?" katanya tanpa harus adanya balasan.
Ia kembali menghilang. Hampir tak terlihat dan sangat imajinatif. Tunggu? Apa beginikan caranya membantuku? Aku kesepian. Dia adalah teman yang baik dan seorang penasihat. Seharusnya ia sedikit saja lebih baik pada karangannya.
Aku melihat coretan tak masuk akal di pohon yang baru saja ia coba gerus. Itu bukan puisi pondok, wasiat, atau karangan lainnya yang menimbulkan keingin tahuan apakah itu sebuah pesan. Aku kembali mendengar suara senandung langka di antara jeritan kematian yang diam. Orang-orang biasanya akan menyepelekannya dan tak peduli. Ini adalah kuburan. Selain Sinclaire siapa pun dapat membuat bisikan aneh.
Aku memutar kepalaku mencari asal suara, mencoba berdiri dan mengintip di balik pohon pinus di depanku. Seorang anak sedang bernyanyi di depan sebuah nisan—itu bukan Sinclaire—seorang anak laki-laki seusia denganku. Nadanya terdengar seperti nyanyian para orang tua pada anaknya yang setengah baya. Aku tak punya ide untuknya. Ia tepat membelakangiku dengan sempurna
Ia memutar kepalanya tiba-tiba, membuatku tak sempat untuk kembali bersembunyi di balik pohon pinus. Wajahnya sangat familier bagiku. Ia adalah anak laki-laki cerdas dengan identitas pemberi makaroni yang aku catat. Wajahnya jauh dari pangkat keunggulan yang selama ini kuagungkan. Wajahnya jauh lebih pucat setelah badai salju menghilangkan kabarnya.
"Noah?" panggilnya memastikan—walau aku yakin ia pasti mengenaliku dengan baik.
Aku menemukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sinclaire
FantasyNoah bersama dengan pengampunan dan kematian. Masa kanak-kanak dengan jati diri yang dewasa dan seorang anak perempuan yang bersandiwara layaknya rekan yang pantas bagi masa muda Noah. Ia adalah seorang malaikat dengan kabar terburuk sepanjang kehid...