BAB 34: Hantu Ophelia

320 24 10
                                    

Potsdam yang kelabu dan kasat mata, rupanya mampu menyimpan jutaan pendosanya di satu stasiun. Aku pernah datang ke pertunjukan dan melihat Ophelia tewas di sungai Denmark. Aku melihat si anak makaroni berkeliaran di jalur kereta sambil membual. Muller pernah berpura-pura menjadi pujangga bangkrut yang membiayai teater kelas dua.

Aku telah melihatnya dalam berbagai kebiasaan dan ocehan. Herrz Muller masih melihatku dari dalam gerbong yang setengah bobrok, tanpa suara, dan kemaslahatan. Ia mendeklarasikan kembali identitas sederhana yang dikenali. Moralitas buruk selalu menyimpan keindahan sendiri untuk orang seperti kami.

Stasiun ini, aku menolak meromantiskan pendosanya seperti filsuf perguruan tinggi yang diupah penuh. Wanita di sampingku telah merokok dengan gaya orang Perancis kuno, seorang penjual koran telah mencuri koin dari saku lansia Berlin, dan aku, oh, aku telah menerima kematianku sendiri seperti Hamlet yang lalai.

Itu ide yang sangat mengerikan, kita selalu memuja sesuatu yang dalam: kematian dan doa, dan kita masih gemetar di depannya. Seperti aku yang mengusung langkah mundur menjauhi peron. Menjauhi si anak makaroni dalam perjalanan soliter yang digadang oleh Sinclaire. Keramaian menabrak bahuku tak beraturan.

Kereta telah datang dan pergi, kumpulan pemusik jalanan bersautan dengan pengemis bak orkestra murahan. Aku tersungkur ke lantai peron setelah tersandung, seolah siap untuk adegan yang paling dramatis. Sinclaire berjalan mendekatiku, di antara kaum pekerja dan penyair kumuh.

"Akan kutinggalkan diskusi dunia fantasi." Gadis itu bersimpuh malas tepat di hadapanku, tapi ia telah menari dengan kata-katanya. "Kematian mengandung seluruh kesia-siaan belaka, tapi untukmu aku telah membenarkan seluruh pembunuhan. Apa menurutmu Herrz Muller akan membenarkan kematiannya sebagai dosa, oh, tragedi terindah sepanjang waktu!"

Sinclaire telah tersenyum dengan altruisme seorang anak. Dan menanggalkan seluruh suka cita. Betapa ganjilnya pembicaraan ini! Orang-orang menginjak tanganku dengan sepatu mereka, rasa mengerikan berayun sama dengan kalimat Sinclaire. Tapi selain kengerian; mengutukku saat aku bicara, Kematian itu sendiri yang berdiri di depanku.

Orang-orang menyahutiku dari lantai peron, hingga seseorang harus menarikku berdiri. Mengeluhkanku dengan wajah kebingungan yang sia-sia. Parasnya pucat dan berbintik. Aku balik melihat gerbong di samping kami, dan Herrz Muller sudah tak menunjukkan batang hidungnya di sana. Sekarang dia sudah ada di depanku. Seperti seorang penyihir yang menerima persembahan.

Oh, bahkan tanpa salam jumpa yang hangat, anak muda itu mengirimku lari menjauhi percakapan penuh etika, kerumunan, dan wanita yang merokok tak karuan. Kami telah jauh dari pelataran peron ketika aku mulai mencerna kembali roman Herrz Muller dengan jelas. Apa yang ia pikirkan? Ia kembali menyusup dalam ingatan seorang Thespian muda.

"Terkutuklah aku." Anak itu melepas tanganku dan mondar-mandir ke belakang tak jelas. Herrz Muller bereaksi seolah ia dirasuki, pemujaan terhadap keabsurdan dan lupa untuk memijak tanah selama monolognya. "Gadis itu memang mengerikan."

Herrz Muller bersandar di tiang di dekat kami dengan napas yang separuh habis, tapi sebuah pengulangan datang begitu saja, "Oh, aku lupa, aku juga orang yang mengerikan." Ia tersenyum ke arahku. Seolah sedang membayar pertemuan yang sama mengerikan. Ia tersapu oleh tawa primitif. Seakan telah menjual kewarasannya untuk dapat bertemu denganku lagi. Setelah apa yang terjadi di jembatan.

Aku berdeham. "Aku setuju."

Itu membuatnya tertawa, yang satu akan tewas dalam dongeng soliter dan satu lagi menjadi gila setelah—akan—membunuh temannya. Aku turut bersandar di sebelahnya. Sambil melihat tanganku yang memerah dengan bekas tapak sepatu. Aku diam sejenak. Lelucon terasa mengaruk keluar dari tenggorokanku. Kukatakan, aku juga orang yang mengerikan setelah hidup dari waktu milik seseorang yang kucuri.

"Kau tahu." Dia diam menarik napas. "Aku tidak peduli waktu siapa yang kau curi untuk hidup. Tapi, yang paling penting, apakah itu layak untuk dicuri atau tidak."

"Itu sama dengan pembunuhan."

"Aku mungkin membenarkan pembunuhan."

Aku tersentak. Bahkan selama itu layak, aku tidak yakin itu adalah hal yang benar. Ia mencondongkan tubuhnya dengan sorot permaafan. Aku mengingat sesuatu, seseorang yang membenarkan kematian karena itu terdengar indah dilafalkan, dan bukan untuk dosa atau dendam. Anehnya, Herrz Muller sungguh berpikir aku terlihat bingung karena aku tidak pulih atas tragedi di jembatan malam lalu, sehingga dia meminta maaf bukan untuk kata-katanya tentang membenarkan kematian.

Kukatakan, aku mengerti, dan permintaan maafnya adalah sesuatu yang tidak kupusingkan. Meski aku tidak keberatan untuk memukulnya sebagai bayaran yang pantas. Tapi, pertemuan ini tetap terasa janggal dan vulgar. Di luar dari suatu konteks, aku sadar bahwa Sinclaire tidak mengikuti kami, dan ia telah pergi entah ke mana. Membiarkan jejak apel berdarah di udara bagai taman Eden.

Peron terlalu ramai dan pahit. Asap-asapnya yang busuk membunuh pejalan kaki. Aku mengingat perkataan Sinclaire dan aku merasa terkutuk. Butuh beberapa menit sebelum pengakuan keluar dari kepalaku seperti sumur, "Aku sudah mati, seharusnya dua tahun lalu." Ada jeda yang terlalu lama. "Aku telah membunuh ibuku untuk berada di sini dan aku juga tidak ingat apa-apa, nah, aku dua kali lebih mengerikan. Kau bisa bersedih pada esai Montaigne, atau bersimpati pada kejahatan Claudius, tapi jangan pernah—"

Mati untukku. Aku berhenti.

Aku berada di lantai peron ketika aku tidak melanjutkan kalimatku. Asap dan genangan air memantulkan bayangan Sinclaire di sisiku, dengan ekspresi kebebasan yang acap ditanggung kematian. Ia di sana dan tahu penghiburan terbaring begitu telanjang. Sinclaire mengatup mulutnya dengan telunjuk dan berbisik. Sesuatu yang tidak bisa kudengar.

Aku menggenggam dadaku seolah sebuah jiwa akan dicabut dari sana. Dia menatap. Genangan kotor nembuat matanya hitam legam. Ia tidak terlihat seperti Sinclaire yang kutahu. Seperti mayat hidup. Aku ingat pernah melihat orang yang sama. Ia telah menghantuiku dan terus mengatakan aku membunuhnya di rumah kami sendiri. Aku pingsan. Herrz Muller menangkapku dan kami berdua jatuh ke genangan air kotor. Sosok ibuku menghilang di sana.

As I planned, Sinclaire mungkin rampung kurang dari 10 chapter

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

As I planned, Sinclaire mungkin rampung kurang dari 10 chapter. Btw chapter berapa nih favorit kalean? (⁠~⁠‾⁠▿⁠‾⁠)⁠~

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 18, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SinclaireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang