BAB 3: Apel

1.6K 292 178
                                    

Sinclaire bagaikan sebuah teman dengan segudang misteri perumpamaan. Saat kami bertemu, kupikir itu hanya sesaat dan tidak sepenuhnya mengesankan.

Secara harfiah bagi seseorang yang terobsesi akan keberadaan namanya, dia adalah temanku sekarang—jika ia memenuhi segala hal tentang standar normal yang gemar orang tua bahas. Pula, ia tak layaknya penyihir magis yang sering diceritakan dalam gosip.

Awal Desember adalah waktu terakhirku keluar sebelum musim dingin. Jadi, aku menghabiskannya dengan menyusuri jalanan basah di parade kabut separuh senja. Terkadang ayah mengajakku duduk di kedai bersama secangkir teh dengan aroma harum atau menyusuri jalanan batu bertaman di Potsdam.

Aku tak banyak berubah, aku masih sering bersikap kekanak-kanakan dengan enggan mengikuti kelas melukis, membiarkan nampan makananku mendingin, atau kabur ke hutan di balik pagar dengan rumor menakutkan pada kabut yang gelap. Pergi ke tempat pelarian seperti anak kecil lainnya yang marah pada orang tuanya. Menyusuri peternakan domba, menara, dan ladang kering.

Karena ayah menolak ajakan pergiku, jadi aku pergi bersama dengan Sinclaire. Ia menawarkan diri saat aku tak sengaja melihatnya lagi. Ia berjalan di sampingku dan terkadang mendahuluiku dengan sedikit berlarian. Sepanjang jalan ia masih berbicara tentang hal yang terkadang sulit kupahami. Ia menyenangkan untuk dijadikan teman, tapi kecenderungan memaksaku hanya diam mendengar semangatnya.

Sejujurnya, ia bahkan lebih pintar dan dewasa daripada diriku dalam banyak bidang. Semua hal yang ia miliki sangat sulit diterima. Dia banyak berbicara saat aku sangat ingin mendengarkan. Aku acap bertanya padanya bagai seorang anak tanpa peta.

Satu-satunya hal yang menyatuhkan kami adalah ketertarikan akan alat lukis di mejaku. Aku dan Sinclaire secara khusus bisa bicara sepanjang hari tentang guru melukis dan seniman hebat di masa lampau. Kami duduk bersama dalam waktu lama di bawah udara dingin seperti tersihir.

Terkadang aku menunjukkan bakat melukisku yang payah dari kelas setiap beberapa kali dalam seminggu. Aku lalu membusungkan dadaku, tersenyum angkuh karena mendapat pengakuan atas lukisan yang tak sehebat milik Edgar Degas.

Pembicaraan kuno Sinclaire sering mendominasi ketidak tahuannya akan hal baru. Ia cenderung bercerita layaknya wanita tua yang menghabiskan waktu di balik kaca kedai kopi dan memperhatikan keunikan orang-orang yang melintas. Ada banyak hal yang ia ceritakan tetapi sisanya ia hanya berbicara dan berceletuk sembarangan layaknya anak seusianya yang tidak sabaran.

"Seseorang dapat terpengaruh untuk menjadi sedikit puitis saat mereka berjalan di taman yang terpengaruh oleh musim," penggalnya singkat dengan manik permata yang tak lepas dari kertas gambar yang kuberikan padanya.

"Omong kosong," kataku sambil melipat tanganku, menahan tubuhku yang gemetaran kedinginan, "Seseorang yang sempat menghabiskan waktunya di rumah sakit jiwa seperti Van Gogh bahkan dapat menjadi pelukis hebat. Ini hanya tentang bakat yang mereka miliki sejak awal."

"Kau benar," jawabnya tanpa berkenan melirikku balik.

"Sayangnya, ia tidak bisa menghabiskan sisa hidupnya dengan jutaan pound dari lukisannya yang terjual setelah kematiannya."

Aku menunduk melihat sepasang sepatu kulitku, seketika hal sederhana itu seakan menarik bagiku.

"Pelukis yang malang, andai ia memiliki kesempatan hidup sedikit lebih lama untuk melihat kesuksesannya sendiri," eluhku begitu pelan tapi aku salah besar jika menganggap Sinclaire tidak bisa mendengar celetukku.

"Jika aku benar, bukankah kau akan kembali bersekolah tahun baru nanti?"

"Tidak pernah terpikir olehku," bantahku dengan nada melankolis.

"Sejak tadi, apa yang kau gambar?" aku memajukan kepalaku mendekati pundaknya seakan tertarik dengan isi di selarik kertas gambar, alih-alih aku berusaha merubah topik.

Kepala Sinclaire mengadah, menatap patung yang berdiri anggun tepat di depan kami, "Demeter."

"Sudah kuduga, seharusnya aku tidak mengharapkan lukisan bunga atau burung taman darimu," tegasku. "Jadi, ini alasanmu mengikutiku ke taman?"

"Aku tidak suka pahatan patung Demeter ini. Lagi pula, Demeter hanyalah mitologi gamblang yang kurang menarik," jawabnya tak terpengaruh.

Terkadang, aku berpikir tentang betapa unggulnnya Sinclaire. Aku menghabiskan hidup dengan memelajari sejarah dan ilmu dasar. Juga, mendengarkan musik dan dongeng di kamar, dunia yang terdengar sangat umum, tapi tidak bagi Sinclaire. Sinclaire bahkan lebih berwawasan dari lima-sepuluh buku paling tebal di perpustakaan. Ia tidak memulai semua hal dari tulis-menulis melainkan pengetahuan tinggi yang sulit digapai. Gadis itu tersenyum layaknya seorang anak sepuluh tahun tapi jiwanya berasal dari tempat lain yang jauh lebih lama.

Aku sering melihat Sinclaire duduk di lantai kamarku. Melukis seekor burung di luar jendela dengan kuas milikku dan buku catatan tua yang didapat dari loteng. Aku bersembunyi di balik pintu dan tak henti menggagumi bagaimana dia dapat mendominasi dengan paras cerdasnya.

Dan untuk kesempatan lainnya, aku lalu memandanginya lagi sambil berjalan pulang dari taman Potsdam hari itu juga. Tawa yang mengganggu membuatku sadar bahwa ia masih berlarian seperti anak kecil. Memanggilku dan mengharapkan apel saat tiba di rumah nanti. Penampilannya terkesan ceria dan fanatik dengan pupil permata penuh di bola matanya. Tidak ada yang bisa mengalahkan kesan kanak-kanak darinya saat ia berjalan di depanku. Rambut emasnya yang terikat pita hitam kecil dan kakinya yang berlarian tanpa sedikit pun tersandung.

"Aku masih penasaran dengan pria berjubah hitam yang aku temui di makam dua tahun lalu. Dia bahkan tahu jika kau akan menemuiku, siapa dia?"

"Jadi, kau belum paham?" kata Sinclaire, menghabiskan setengah apel yang aku belikan untuknya di perjalanan pulang, "Pria berjubah hitam itu adalah aku sendiri, asal kau tahu."

"Kau!"

"Kau!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SinclaireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang