BAB 16 : Anak di Bilik Telepon

384 77 73
                                    

"Seseorang hidup, seseorang juga mati."

Kuulang kata itu di kepalaku, mencari sebuah tafsiran atas suatu kalimat yang ditinggalkan Sinclaire. Bahwa aku hampir seperti orang gila yang percaya pada khayalan soal kematian. Bahwa aku hampir kehilangan waktu tidurku untuk itu.

Aku berpikir tentang letak logis sebuah takdir. Bagaimana seseorang mati dan bagaimana itu bekerja. Aku duduk di kursi. Secara sembarangan juga membaca judul-judul buku di rak agar tak hanya larut pada pemahaman salah. Aku melihat buku, kotak pensil dengan origami tulip, lalu melihat bingkai foto ibu di meja.

Aku pernah bilang bahwa Herrz Muller juga menaruh foto ibunya di kamar. Oh, anak itu bahkan langsung datang ke makam ibunya setelah pulang dari Berlin. Ia juga sepertinya dekat dengan ayahnya, tidak sepertiku yang cenderung keras kepala. Tidak, anak seperti Herrz Muller sangat berharga, tapi mengapa ia juga harus mati? Memangnya ini semacam ritual pengorbanan atau apa. Mengapa Sinclaire tidak memberi tahu alasannya?

Kembali pada masalah waktu tidurku, aku menaruh kepalaku di atas meja yang belum sempat kupindahkan. Pula sedikit menggerutu karena kepalaku yang sakit. Cahaya lurus matahari bagai lampu sorot yang memintaku untuk terjaga. Itulah pertama kalinya detikan jam tak masuk dalam hitunganku. Sesuatu memintaku untuk mengabaikannya—mungkin karena rasa kantuk dan malas.

Mungkin jam dinding dapat luput dari perhatian kecilku, tapi tidak dengan suara sepatu kulit ayah yang mendekati kamarku. Itu terdengar berat dan berarti, sampai-sampai aku hampir sudi mengutuk sepatunya—hanya sepatunya.

"Hei, apa kau terus begitu sejak pagi?" kata ayah, berjalan mendekatiku dan membuka tirai jendela sepenuhnya. Itu membuat cahaya matahari masuk lebih dari sekedar lampu sorot teater.

"Aku sedikit benci hari senin," gumamku sembarangan. Tentu itu tidak berhasil.

"Ayah juga, hampir semua orang di dunia juga." Pria dengan reefer coat suram kebesarannya itu berdiri di sampingku. Ia menarik alisnya, agaknya menunggu jawaban atas kesibukanku yang tidak absolut. "Bagaimana kalau kau membantuku untuk mengirim telegram ke kantor pos?"

"Ide yang buruk. Potsdam sangat ramai kalau hari senin."

"Lalu, apa yang kau mau?"

Aku kemudian bangun, hanya untuk bersandar di kursi dan melihat ayah. "Biarkan aku membawa sepedanya, maka aku akan pergi 10 menit lagi."

Ayah tersenyum, sementara aku tidak yakin apakah itu senyum yang merujuk pada persetujuan. Oh, di lain sisi aku menunjukkan ekspresi yang sedikit serius. Kurasa, siapa yang berharap berada di tengah-tengah masyarakat di hari senin? Bahkan aku bertaruh sebagian orang—tanpa kesibukan penting—sangat menghindari jadwal kereta uap pagi hari. Sepeda akan membantuku keluar dari masalah semacam itu dengan cepat.

Ayah bukanlah orang yang sulit diajak kerja sama. Ia kemudian mengacak rambut hitam kecokelatan yang secara temurun terhias di kepalaku. Kemudian, menaruh telegram titipannya di meja, jelas sekali kalau ia sangat membutuhkanku untuk pekerjaan kecil ini.

"Kau punya 10 menit untuk segera pergi anak muda."

Ayah kemudian keluar, tampak tergesa-gesa. Tampaknya ada gerbong yang menunggunya di suatu stasiun. Bahkan hanya untuk mengirim telegram saja ia meminjam waktu dari orang lain. Jelas ia sibuk.

Aku berpikir, hanya perlu mengatarkan surat lalu kembali. Terdengar mudah jika aku tidak cukup malas di awal periode mingguan. Bagaimanapun juga aku lalu bangun, mengambil mantel dan sebuah baret yang tergantung di dalam lemari. Pula dengan cepat aku keluar. Berjalan ke samping rumah, itu bukan sebuah tanah yang besar, itu hanya tanah kosong dengan dua pohon kenari. Tidak ada rumput-rumput liar. Mereka akan tumbuh berantakan saat akhir musim semi.

Aku menaruh banyak perhatian pada tiga lembar telegram ayah yang ada di satu sisi saku yang lain, walau aku yakin tidak memiliki masalah kecerobohan. Maupun, aku tahu pasti di mana sepeda tua itu tinggal, tepatnya di samping pintu gudang. Aku masih dapat memastikan bahwa sepedanya cukup baik.

Ketimbang semua itu aku memilih memastikan soal keahlian. Satu kakiku masih di tanah saat aku ingat pernah jatuh dari sepeda saat awal musim semi dua tahun lalu. Aku banyak menyalahkan betapa berlumpurnya tanah yang masih menyisahkan sedikit salju. Itu membuat sebagian sisi tubuhku kotor seperti diterpa hujan. Bahkan aku tidak banyak menguasai pedal sepeda.

Maka setelahnya, aku mulai mempekerjakan kedua pedal sepeda bersamaan untuk bergerak. Awalnya menyusuri jalan dengan ladang dan tanah-tanah kosong, beberapa orang yang begitu familiar memanggil namaku dari serambi rumah mereka.

Kemudian semakin jauh, bangunan rendah menjadi semakin tinggi, barisan toko bahkan di setiap sisi jalan. Keramaian orang-orang semakin membuatku harus berhati-hati soal kecepatan mengayuh. Berbaur dengan beberapa orang yang mulai tak kukenali, setidaknya sebagian dari kami mengenakan mantel yang hampir serupa.

Awan mendung datang begitu aku sampai di tempat yang disebut pusat kota. Aku bertanya-tanya tentang ketidak pedulian orang-orang yang berkumpul di jalan bilamana hujan turun. Oh, lagi pula mereka masih memiliki amper kedai untuk berlindung di saat semacam itu. Aku lalu turun dari sepeda, memilih menitihnya sampai kantor pos yang bahkan dapat aku hitung jarak bagunannya.

Aku sedikit berlari sampai di depan kantor pos. Kaca kecokelatannya membuatku tak dapat menyimpulkan seramai apa keadaan di dalam bangunan persuratan itu. Aku menyandarkan sepedaku di depan bangunan dekat dengan beberapa bilik telepon di sana.

Aku bahkan tidak tertarik untuk peduli pada bilik-bilik telepon, sampai aku sadar mengenali seorang anak dengan rompi sekolah menengah, hanya, kali ini rompinya tampak kotor. Rambut pirang gelapnya yang kaku sangat familiar dengan si pemberi makaroni. Ia menyampingiku dengan roman kepangkatannya. Herrz Muller? ini masih siang, apa dia bolos dari kelasnya?

Aku mendekatinya, sehingga aku berada sedikit lebih dekat di belakangnya. Aku mencoba mendengar suaranya yang mengecil. Aku mendengarnya memanggil ayah pada seseorang di balik telepon. Suara kesenganan dan citra baik ia suarakan melalui gangang telepon.

"Aku baik pada Tuan Philip, aku juga mengikuti kelas di sekolah. Aku? Aku ada di bilik telepon di depan sekolah sekarang," katanya. Tunggu, ada apa dengannya?

"Wah, wah, apa ia berbohong pada ayahnya barusan?"

Sebelum rasa penasaran menarik langkah kecil, seseorang lebih dulu menepuk pundakku. Itu membuatku sangat terkejut, seorang gadis setinggi bahuku berdiri di belakang bagai memergoki seorang pencuri. Oh, aku bahkan dapat mencium aroma musim semi dari rambutnya sebelum berputar melihatnya.

"Wah, wah, apa kau barusan menguntit? Lebih baik kau segera mengantre untuk membeli perangko."

Ah, apa yang Sinclaire lakukan di sini?

Ah, apa yang Sinclaire lakukan di sini?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SinclaireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang