BAB 21: Penumpang Gerbong Terakhir

293 57 15
                                    

Hari ini tanah di sekitar stasiun agak basah. Akhir pekan ini aku meracau pada ayah agar mau membawaku ke Strausberg. Kami pergi sebelum pukul tujuh untuk mengambil mesin ketik ayah yang baru diperbaiki dan kembali sebelum siang. Namun, begitu kembali ayah terus-menerus menggerutu soal gerbong kereta kelas tiga yang buruk.

Itu terjadi saat kereta berhenti di stasiun Berlin dan membawa beberapa penumpang yang disebut pengacau. Ada beberapa perokok, pensiunan perang yang suka mengoceh, juga orang aneh yang mengantongi banyak makaroni dan meninggalkan sarung tangannya di kursi. Petugas kereta memintaku mengembalikannya. Namun, orang itu sudah pergi begitu jauh, menyebalkan.

Saat begitu turun dari peron aku masih saja membawa sarung tangan orang itu. Entah harus kuapakan, aku bahkan telah benar-benar kehilangan jejak pemiliknya. Ayah memintaku membawanya kemudian aku bisa membuangnya saat sampai di rumah. Orang-orang kota memang merepotkan. Mereka memiliki keterampilan dan ingatan yang payah.

Semua ini terjadi karena kesalahan kecil soal jadwal stasiun sehingga kami harus pulang di kelas terakhir. Ayah menyesalkan hal itu dan bertanya apakah aku keberatan. Kupikir itu memang buruk, aku bahkan nyaris tidak menikmati perjalanan pulang karena gemuruh lantai gerbongnya. Walau di sisi lain ayah dapat tidur selama sepuluh menit saat perjalanan.

Kami berdua lalu menuruni peron, berbicara sebentar dan sedikit mengeluhkan kawasan stasiun. Boleh jadi tak hanya di hari senin, akhir pekan sekali pun aku masih dapat merasakan tumpukan kesibukan di sini. Mungkin jika aku sedikit lebih tua hal semacam ini tak akan menggangguku. Tentu, aku masihlah anak yang tidak sabaran. Peran semacam ini masih pantas untukku.

Langkah ayah lalu menuntun pada persimpangan pusat yang lebih renggang. Jalan di barat daya dengan tumpukan pemain organ, orang-orang yang terpanggil akan duduk di depan toko di sana-sini atau di tangga menara yang mirip katedral. Ada juga beberapa burung pigeon yang tertarik memunguti sisa roti berserakan di depan kedai.

Sampai seseorang yang duduk di sana tampak menarik perhatianku. Seorang anak dengan mantel yang sama mengantongi banyak makaroni. Ia duduk sendiri dengan raut janggal yang mencolok, dan hanya tertarik pada burung-burung yang sengaja menghampirinya. Seketika itu menyadarkanku tentang anak pemberi makaroni yang selalu kucatat namanya.

"Kupikir aku melihat pemilik sarung tangan ini, akan kukembalikan. Ayah pulang duluan saja."

"Sendirian?"

"Ayah tidak mungkin mengikutiku sambil terus membawa mesin ketik, bukan?"

Ia melihat mesin ketiknya dan wajahnya terlihat setengah tak setuju. Tentu, ia meragukanku. Bisa-bisa aku pulang sampai petang lagi—mungkin itu yang ia pikirkan. Jadi, aku bertaruh dan menjanjikan roti lapis jika aku terlambat lagi. Oh, bukan hanya itu! Ia juga boleh mengunciku di kamar selama akhir pekan, walau sepertinya ayah tidak akan memilih opsi itu.

"Sebelum pukul satu siang, anak muda."

Aku mengangguk dan segera pergi sebelum ia berubah pikiran. Langkahku yang agak ribut membuat beberapa burung ikut mondar-mandir. Anak itu segera menyadarinya dan melihatku. Mata kelabunya sedikit senang. Kesan ini membawaku pada pertemuan pertama dengan siswa pembolos yang memberi makaroni. Hanya saja kali ini akulah yang menghampirinya.

Herrz Muller tersenyum. Ia memintaku duduk di sebelahnya dan menawarkan makaroni untuk kusebar. Ia masih memiliki kesan yang sama walau hari ini antusiasnya terlihat sedikit tenggelam. Ia menayanyakan kabarku dan menyadari sarung tangannya yang kubawa. Tanpa sadar aku lalu membahas keburukan gerbong kereta padanya.

Kami berbicara persis seperti dulu. Melihat ke belakang dan ingatan lama meresap pada pembicaraan yang masih sama asingnya. Herrz Muller hanya diam mendengarkan. Seingatku, luapakan semangatnya mengenai hal hebat sering kali menjadi topik hebat untuk kami. Namun, mengagumkannya ia tak kehilangan sedikit pun figur dominan. Jejak simpatik itu tak hilang bahkan saat ia hanya melamun lurus ke depan.

Aku ikut mengamati jalan persimpangan di depan kami. Tapi itu hanyalah persimpangan biasa, aku tak menemukan penawar atas alasannya melamun. Barangkali aku juga melihatnya sebentar dan tiba-tiba saja wajahnya menjadi sedih. Kemalangan di matanya adalah ironi. Apa yang terjadi?

"Hei, apa yang terjadi?" Kemudian aku berusaha menariknya pada pembahasan. Oh, biasanya aku tak bicara duluan.

Ia lalu berhenti melamun. Gerakan tangannya menunjukkan keadaan antara memilih diam dan pengutaraan. Herrz Muller melihatku lama dan suaranya merendah. "Ayahku meninggal pekan ini."

Mendengar jawabannya membuatku berhenti. Menatap padanya dan menghirup udara kematian lagi seolah-olah itu adalah hal yang lumrah. Apakah kisah pengarang Berlin akhirnya menjadi nyata? Sinclaire membuatnya jelas dengan kejadian nyata yang menakutkan, tapi bersamaan itu memanglah identitas manusia. Tanganku bergetar karenanya. Rasa-rasanya selalu ada kisah yang serupa.

"Kau tahu? Aku hanya berdiri di belakang petinya saat upacara pemakaman sore kemarin. Hanya diam dan tidak menangis. Keanehan itu benar-benar hidup di antara pelayat. Mungkin aku memang seaneh itu," lanjutnya. Ekspresi itu hidup juga saat aku melihatnya di makam setelah musim dingin.

Herrz Muller tidak layak mendapatkan ini. Seakan penawarannya hanya berpihak padaku. Anak pemberi makaroni ini telah kehilangan ibunya yang terhormat, tinggal sendiri di Potsdam, kemudian kematian ayahnya. Entah mengapa itu menimbulkan hasrat bersalah, kemarahan yang ditarik oleh rasa solidaritas. Kemudian menimbulkan keprihatinan yang tak dapat diuntarakan.

Aku berharap dapat menuturkan sesuatu yang lebih baik, tapi yang kukatakan justru kalimat berduka yang tak berguna. Aku kehilangan kualitasku dalam berekspresi dan peduli. Namun, kemudian ia menarik tanganku dan tiba-tiba saja memberikan lagi makaroni untuk kusebar. Ah, kupikir aku sama anehnya dengan Muller. Apa anak ini benar-benar tidak menangis untuk ayahnya?

"Aku ingin terus di sini," bisiknya lambat seolah-olah ia menyimpannya untuk diri sendiri. Malahan aku ragu apakah ia sadar saat menuturkannya. Untuk pertama kalinya kalimat itu dapat kupahami dengan betul. Oh, kebanyakan dari karakternya tak searah denganku. Kata itu terdengar menyedihkan di literaturku, juga sangat penting.

"Noah, apa kau masih menyimpan buku cerita yang kuberikan?" Ia melihatku dan mengatakan itu tiba-tiba saja, sangat tiba-tiba.

"Noah, apa kau masih menyimpan buku cerita yang kuberikan?" Ia melihatku dan mengatakan itu tiba-tiba saja, sangat tiba-tiba

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SinclaireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang