BAB 20: Tanah di Balik Pagar

320 63 33
                                    

Ada sesuatu yang sering kutemukan dari karakter seseorang. Mereka sering kali terlihat konyol dengan ego yang dibuat-buat, menembus kepribadian mereka sendiri dan memilih mengacuhkannya. Bertindak apatis di atas tangga standar moral yang hancur. Sebagian besar anak di belahan dunia tahu bagaimana ego berkerja pada orang dewasa.

Mereka—anak-anak—acap kali dibentuk hanya berdasarkan bagaimana tali sepatu mereka diikat, bagaimana teman kelas mereka berinteraksi, dan bagaimana keharusan untuk peduli dengan nampan sarapan. Sementara, sebagian anak lain cukup beruntung untuk mengobservasi standar itu secara sepihak. Oh, tidak ada panggung apresiasi untuk anak semacam itu.

Itu mengingatkanku dengan Herrz Muller. Ayahnya seorang pengarang di Berlin, maupun aku bertaruh bahwa ia tidak pernah mendapat pujian selain dari ayahnya. Sekolah bukanlah panggung untuk anak yang mampu membentuk moralnya sendiri. Rompinya menjelaskan kasta pendidikan yang baik, tapi di sisi lain ia adalah anak dengan ketidakminatan akan hal serupa—lagi pula ia memang sudah pintar.

Benar, bahwa Muller masih layaknya anak biasa sepertiku, yang entah bagaimana memiliki karakter yang jauh mengagumkan. Ia lebih gemar memberi makan merpati ketimbang mengungkapkan pemikiran cerdas di kelas. Anak dengan moralitas tinggi mengambil peran menakutkan dalam akhir kisah ini? Itu membuatku tertawa geli.

Kembali pada hal yang begitu familiar. Aku melihat ke balik pagar rumah selagi berada di luar. Ada beberapa anak pengacau yang menendang-nendang tumpukkan daun yang baru dibersihkan. Suara tawa mereka mengunggah perhatian orang dengan suasana hati yang buruk. Mereka diperingati, ditatap keji oleh beberapa pejalan kaki, dan menakjubkannya mereka hampir sama sekali tidak peduli.

Salah satu anak dari kumpulan itu berbalik melihatku. Dia mengangkat tangannya menyapa dan itu menarikku untuk menaruh hormat pada mereka. Paling tidak mereka tahu bagaimana memperlakukan orang yang mereka kenali. Mungkin, itu sedikit dari contoh besarnya saja. Ada ribuan contoh soal kenakalan yang dalam sisi umum tidak dapat ditoleransi.

Lantaran aku tidak memiliki masalah pada keanehan masyarakat dan perusuh, jadi aku memilih pergi memeriksa sepeda di belakang rumah. Pagar di belakang memisahkan kediaman terhormat ini dengan ladang pohon pinus. Tempat itu sering kali dipenuhi kabut saat udara sangat dingin. Sepintas begitu menakutkan, penuh ancaman, dan ganjil.

Aku cepat-cepat mengeluarkan sepedaku dari pondok perkakas. Kemudian, memunggungi pagar dan menyimpan ketakutan sembrono soal sosok aneh di balik pohon. Aku bertanya-tanya soal letak ketakutan ini, hampir irasional dan tak berkaitan. Kenapa seseorang memiliki kecenderungan takut pada tempat asing? Mungkin dongeng lama yang mengerikan juga sedikit memengaruhi.

Tiba-tiba saja beberapa kerikil dari arah belakang dilempar ke arahku. Empat buah kerikil! Hampir dalam satu periode bersamaan melukai kepala dan punggungku. Itu seketika menghancurkan ketakutan soal area pohon pinus—belum sepenuhnya. Aku telah menandai sosoknya sebelum berbalik. Sinclaire berdiri di sana, setengah memanjat pagar kayu.

Dalam proses mengenalinya, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Dia tersenyum dan ekspresi matanya begitu tenang, itu jelas berbeda dengan saat-saat lalu ketika mata itu dipenuhi oleh antusiasme serta sarkastik. Mungkin aku menyukainya, tapi di sisi lain itu hanyalah perasaan segan yang berakhir pada ketakutan.

"Adakah hal menarik lainnya soal kawasan belakang rumahmu? Soal perkakas di pondok itu tentunya," singgungnya sambil masih memanjat setengah pagar luar. Kumpulan pohon pinus di belakang tampak tak menakutkan lagi.

Oh, terdengar bagus untukku. Aku bahkan belum menemuinya lagi dalam kurun waktu mingguan. Mungkin baru-baru ini ia sibuk menelik peternakan di dekat menara atau pergi untuk mencari patung-patung yang dibangun di pemakaman. Aku tidak akan pernah lupa mengatakan bahwa Sinclaire selalu memiliki kegemaran aneh.

"Tidak, tidak ada yang menarik soal palu dan obeng," jawabku sambil berbalik dan mengacuhkannya. Aku kembali melihat sepedaku, rantai-rantainya telah kering dan macet. "Bisakah kau kemari, kau terlihat seperti hantu pohon di situ."

Setelahnya, Ia melompat melewati pagar bersamaan dengan langkahnya yang heboh. Ketika aku sempat melihatnya lagi, Sinclaire sudah berdiri di sebelahku serta menanam pertanyaan soal sepeda tua ini. Aku memberitahu soal rantainya yang kering, dan dia menanyai kembali wawasanku soal kendaraan pedal.

Aku sedikit berharap tahu sesuatu soal wawasan yang serupa. Masalah rantai yang macet terlalu muda, lagipula akulah yang meminta ayah untuk tidak membeli sepeda baru. Itulah mengapa benda ini harus diperiksa kembali. Nyatanya, ada banyak alasan mengapa sepada ini tidak perlu diganti. Di sisi lain aku tidak terlalu berharap soal lainnya.

Sinclaire ikut berjongkok, kemudian ia terus-menerus bertanya tentang penolakanku pada opsi sepeda baru. Sampai aku memintanya mencari topik lain dan dia malah bertanya soal luka di dahi yang kudapat dari kejadian lalu. Oh, ia tentu tahu soal insiden pot itu. Akulah yang menyimpulkan akhirnya.

Ia kembali membahas mengenai Herrz Muller dan mengangguku dengan kata-kata berkaitan yang layaknya peringatan keras. Aku sudah memahami setiap bait buku ceritanya dan kematian adalah akhir. Bedanya, aku memeroleh penawaran langsung dari wajah kematian itu. Terdengar seperti kutukan berulang.

"Aku sudah memperingatkanmu."

"Baiklah." Aku menengok cepat ke arahnya dengan suara meninggi. Sinclaire sedikit terkejut, tanpa suara, dan mata itu dipenuhi oleh pertanyaan. Selalu ada anak yang keras kepala di sini.

Gadis itu tersenyum. Tampak begitu berartian luas dan aku tahu pasti ia mengerti maksudku. Ia seharusnya mengerti dari awal. "Kau tidak ingin mati, kau hanya kasihan dengan Herrz Muller."

"Kau pernah melihat telegram Muller, bukan? Ia masih harus menemui ayahnya di musim panas," kataku asal dengan suara merendah.

Sinclaire diam. Kulihat mata itu sekali lagi, begitu indah di bawah rambut pirangnya. Sempurna dan mengerikan. Sepintas itu layaknya iblis yang mendiami loteng tua dan memiliki ketertarikan mengelabui hasrat seseorang dengan barisan cerita tentang orang mati.

"Kau tahu apa mengenai ayahnya?"

Aku melihatnya. Ya, Sinclaire tahu segalanya. Ia lalu bercerita soal seorang pengarang yang hidup sendiri di Berlin. Sementara di sisi lain Jerman, putranya tinggal dan mengisi kisahnya bagai anak teladan. Sampai suatu hari si pengarang jatuh dari tangga rumahnya, tidak ada yang tahu apa yang terjadi, ia berhenti mengirim surat, dan tidak lagi kembali.

Tentu, dia tahu persis bagaimana semua kisah harus berakhir.

Tentu, dia tahu persis bagaimana semua kisah harus berakhir

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SinclaireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang